PARADIGMA KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA
Oleh: HM. Cholil Nafis, Lc., MA
(Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU)
Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dri beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama, seperti kasus Poso, Ambon dan yang terakhir kasus bernuansa agama di Jawa Barat. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hamper pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebaiknya berkaca kepada sejarah yang pernah terjadi dalam dunia Islam, yaitu di Madinah. Dengan pimpinan Rasulullah saw mendirikan negara yang pertama kali dengan penduduk yang majemuk, baik suka dan agama, suku Quraisy dan suku-suku Arab Islam yang datang dari wilayah-wilayah lain, suku-suku Arab Islam penduduk asli Madinah, suku-suku Yahudi penduduk Madinah, Baynuqa’, Bani Nadlir dan suku Arab yang belum menerima Islam. Sebagai landasan dari negara baru itu Rasulullah saw memproklamasikan peratururan yang kemudian lebih dikeninal dengan nama Shahifah dan Piagam Madinah. Menurut para ilmuwan muslim dan non muslim dinyatakan bahwa Piagam Madinah itu merupakan konstitusi pertama negara Islam.
Para sejarawan tentang Islam menyebutkan bahwa pengalaman Madinah (tajrubah al madinah) merupakan kondisi dan peristiwa historis yang paling ideal dalam Islam sepanjang sejarah. Muhammad Arkoun, pemikir posmodernis dari Aljazair, berpendapat bahwa pengalaman Madinah (tajrubah al madinah) tak mungkin bisa ditiru oleh generasi mana pun sesudah Nabi Muhammad saw. Dalam bidang politik, Robert N. Bellah menyimpulkan bahwa tajrubah al madinah meru pakan prototype system demokrasi modern dalam Islam.
Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu Rasulullah saw telah meletakkan batu-batu dasar sebagai landasan kehidupan umat beragama dalam negara yang plural dan majemuk, baik suku maupun agama dengan memasukkan secara khusus dalam Piagam Madinah sebuah pasal spesifiik tentang toleransi. Secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 25: “Bagi kaum Yahudi (termasuk pemeluk agama lain selain Yahudi) bebas memeluk agama mereka, dan bagi orang Islam bebas pula memeluk agama mereke. Kebebasan ini berlaku pada pengikut-pengikut atau sekutu-sekutu mereka dan diri mereka sendiri” (lil yahudi dinuhum, wa lil muslimina dinuhum, mawaalihim wa anfusuhum).
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitAs lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan: 1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama; dan 2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
Lahirnya Piagam Madinah oleh beberapa ahli tentang Islam, seperti dikatakan oleh sejarawan Barat, Wiliam Montgomery Watt sebagai loncatan sejarah (historical jum) yang luar biasa dalam perjanjian multilateral. Selain sifatnya yang inklusif, Piagam Madinah berhasil mengakhiri kesalahpahaman antara pemeluk agama selain Islam dengan jaminan keamanan yang dilindungi konstitusi Negara.
Semangat persamaan dan persaudaraan tanpa melihat suku dan agama dalam Piagam Madinah itu tidak lepas dari bimbingan wahyu Allah SWT, di mana Rasulullah saw tidak akan perkata sesuatu dari kehendak nafsunya kecuali merupan wahyu Allah SWT. Piagam Madinah senafas dengan inti ajaran paradigman kehidupan umat beragama yang termaktub dalam al Qur’an al Karim, yakni tidak ada paksaan untuk menganut suatu agama (al Baqarah: 256), larangan kepada Rasulullah saw untuk memaksa orang menerima Islam (Yunus:99) dan bahwa tiada larangan bagi umat Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan saling tolong menolong dengan orang-orang bukan Islam yang tidak memerangi umat Islam karena agama dan tidak mengusir meraka dari kampung halaman atau negeri mereka (al Mumtahanah: 8 – 9), bahwa Islam mengakui pluratas agama bukan pluralitame agama (al Kafirun: 1- 6).
Kalau sebab turunnya (asbab al nuzul) ayat dala surat al Kafirun dikaji secara seksama, ayat ini merupakan penolakan Nabi Muhammad saw secara diplomatis dan etis atas propaganda agama lain. Ketika Nabi Muhammad saw ditawari untuk saling tukar agama, Nabi saw menangapinya dengan arif dan bijaksana, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Tidak konfrontatif, apalagi destruktif sehingga orang yang mengajaknya pun malah segan.
Toleransi Nabi Muhammad saw yang demikian tinggi ini menjiwai atas pelbagai tindakan dan kebijakan lainnya, termasuk ketika perang. Pernah suatu ketika, Nabi Muhammad saw mengutus Usamah Ibn Zaid untuk memimpin ekspedisi peperangan. Sebelum Usamah berangkat Nabi saw berpesan agar pasukan kavaleri dan infanteri yang dipimpinnya tidak melakukan perusakan terhadap tumbuh-tumbuhan, tidak membunuh anak-anak, ibu-ibu, serta tidak merusak rumah ibadah umat agama lain, baik gereja, sinagong maupun kuil.
Katika tajrubah al madinah menjadi pola dasar dalam membina kerukunan umat beragama di Indonesia, di mana penduduk negeri ini terbesar di dunia, mayoritas beragama Islam, sangat heterogen dan majemuk, terdiri dari beberapa suku, etnis, golongan dan agama, disamping menjadi unsur kekayaan rohaniah yang dapat memperkokoh kehidupan nasional, juga akan menjadi ancaman dan potensi konflik yang berdampak sangat luas.
Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama. Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Pluralitas bangsa kita telah disadari benar-benar oleh para pendiri Negara Republik Indonesia betapa pentinya menetapkan pendirian tentang hubungan antara agama, umat beragama dan negara. Bahwa negara yang hendak dibentuk adalah bukan negara agama dan bukan anti agama, tetapi negara kita adalah Negara yang nitral terhadap agama-agama dan menganggap pentingg keterlibatan agama-agama dalam meraih kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Seluruh pemeluk agama yang ada di Indonesia terlibat dalam merebut kemerdekaan secara proporsional tentu dalam mengisi kemerdekaan pun semuanya berhak berdasarkan profesionalisme dan proporsional.
Lima sila Pancasila dapat kita pandang sebagai rumusan terintegrasi antara jiwa religiositas yang dikandung agama-agama dengan wawasan kebangsaan. Misalnya pada sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa, memastikan bahwa bangsa kita adalah umat beragama bukan sekuler, dan Negara kita juga bukan negara berdasarkan agama, tetapi masayarakat beragama dapat menafsirkannya sila pertama itu sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Negara kita menempatkan diri sebagai fasilitator terhadap umat beragama dan sebagai pemersatu.
Meskipun Indonesia kaya secara filosofis dan peraturan tentang bagaimana membangun kerukunan umat beragama, kita perlu menyimak apa yang disampaikan oleh Profesor Dr. Muhammad Nur Manuty bahwa interaksi antara masyarakat Islamdan non Islam perlu diberikan perhatian lebih serius, mengingat demografi penduduk dunia akan terus berubah. Hal itu menjadi bertambah penting dalam konteks masyarakat yang majemuk (Kompas, 27/8/1996). Perubahan demografi adalah niscaya, karena dia adalah alam yang akan berubah, cepat atau lambat. Namun pendapat ini perlu dirumuskan: Perhatian serius itu bagaimana? Apakah dibentuk forum, lembaga atau apalah namanya.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
Suatu sifat dalam dialog, di mana seseorang melihat lawan dialognya dengan hati lapang dan penuh pernghargaan (‘ain al ridla), bukan sebaliknya, melihat lawan dialognya sebagai musuh dan penuh kebencian (‘ain al sukhth). Sikap dasar moral harus tetap dipertahankan dalam hubungan dialog horizontal. Oleh karena itu tidak seharusnya manafikan eksistensi orang lain.
Sering terjadi dialog yang hanya bersifat semu, karena tidak mengakui eksistensi dan sifat dasar manusia itu. Manurut Martin Buber, eksistensi manusia pada dasarnya sama. Kesamaannya terdapat pada proses dialektisnya yang selalu mendambakan kesempurnaan eksistensi. Ia senantia berproses menuju pengakuan bahwa dirinya adalah eksistensi. Yang dimaksud eksistensi adalah ada manusia yang diliputi oleh rasa kemanusiaan, rasa budaya, rasa progresif, dan sebagainya.
Dialog vertical berarti pemahaman dan pengkhayatan akan fungsi dan makna keagamaan secara mendalam bukan fanatisme buta dalam beragama karena kebodohannya. Dalam konteks kemasyarakatan kita, banyak yang mempertentangkan suatu agama dengan agama lain, bahkan antar sesama pemeluk agama tertentu. Namun serta merta para tokoh agama mengingatkan betapa pentingnya penghayatan keagamaan dan untuk memperluas cakrawala dialog vertical.
Unsur penting dalam dialog vertikal adalah mempedulikan materi keagamaan secara intern. Artinya, kita mesti terus berlajar mendalami secara objektif makna agama kita. Pada posisi puncak sebenarnya adalah pengejewantahan diri kita untuk mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan inilah yang disebut dengan dialog vertical. Oleh karena itu, umat beragama tidak layak mempertentangkan dan menghancurkan entitas orang lain dengan mengatasnamakan agama.
Islam menggariskan ajarannya kepada domain qath’iy (pasti) dan dzanny (tidak pasti). Dua domain inilah yang menjadi pijakan umat Islam dalam memahami agamanya. Domain qoth’iy adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa ditawar untuk ditakwil. Artinya, ruang ijtihad dan kreatifitas berpikir bagi umat muslim untuk mengambil makna tersirat telah ditutup. Sebaliknya domain dzanny, umat Islam diperintah untuk mengembangkan ijtihad dan kreatifitas berpikirnya guna menemukan makna tersirat dalam ajaran agama demi memenuhi tuntutan perubahan zaman dan demografi.
Berdasarkan domain qath’iy dan dzanny umat beragama perlu menyikapi umat beragama selain Islam dengan tegas dalam kontek umat beragama dan bijak dalam kontek kebangsaan. Tegas artinya menyampaikan perbedaan keyakinaan dan keagamaan antara umat beragama, agamamu adalah aagamamu dan agamaku adalah agamaku. Tegas artinya harus mempertimbangkan asas kebangsaan, kemanusiaan, dan persaudaraan sebangsa dan se tanah air dalam rangka mengisi kemerdekaan. Semoga kita selalu mampu menjaga persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan seiman (ukhuwah diniyah).Amin
Senin, 15 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar