Senin, 15 September 2008

APA DAN BAGAIMANA AL BUGHAT

Al Bughat
Oleh Cholil Nafis



Pendahuluan


Sebelum di Indonesia ramai membicarakan bahkan mendiskusikan tentang bughat, Allah SWT sudah memberi tuntunan cara menyikapi Bughat melalui ketegasan- Nya dalam al Qur'an yang menggambarkan tentang perselisahan antara sesama mukmin jika terjadi. Toh sebenar jalinan silaturrahmi yang solid sesama mukmin tidak wajar jika terjadi perselisihan. Namun ketika terjadi perselisihan maka jalan penyelesaiannya adalah harus ditempuh dengan cara damai, rekonsiliasi, bersatu bersama barisan umat Islam dan kembali kepada tuntunan kitab Allah SWT. Langkah dan cara damai dalam menyelesaikan perselisihan adalah cara pertama yang harus dilalui, namun ketika cara ini mengalami kebuntuan dan tidak mungkin memecahkan masalah, apalagi sampai melakukan rongrongan kepada yang lain, baik itu pemimpin yang sah atau rakyat umum, maka mereka harus diperangi agar mereka sadar terhadap dirinya dan kembali kepada tuntunan dan syari'at Allah SWT.
Penilaian dan penerapan hukum Islam tentu adalah kepada komunitas muslim. Maka negara sekuler yang tidak berdasarkan Islam tentu tidak dapat menerapkan hukum Islam kepada persoalan kemasyarakatan, lebih-lebih menetapkan hukum Islam kepada seseorang atau kelompok dengan menggunakan hak eksekusinya demi kepentingan kelompok. Dalam hal bughat upamanya, sebelum kita menetapkan bahwa orang itu baghi atau kelompok itu bughat yang kemudian harus diperangi dengan kekuatan eksekusi dari pemerintah, maka terlebih dahulu mengetahui tatacara hukum Islam dan proses kapan mereka harus diperangi. Oleh karenanya mari kita bahas tentang al bughat dalam perspektif tafsir ayat al ahkam.
Makna al Bunghat
Dalam al Qur'an al Karim sering kita jumpai kalimat yang berasal dari kata kerja بغى,- يبغي,- بغيا dengan arti yang berbeda-beda. Di antaranya, secara bahasa, bagha artinya melampaui batas dan keterlaluan, seperti dalam firman Allah SWT:
" وإن ظائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا فإن بغت إحداهماعلىالأخرى فقاتلواالتى تبغى حتى تفئ إلى أمرالله فإن فاءت فأصلحوا بينهما باالعدل وأقسظوا إن الله يحب المقسظين" (الحجرات: 9 )
Dan kalimat bughat dalam ayat lain artinya, meminta sesuatu yang tidak halal atau melanggar , sebagaimana firman Allah SWT:
"قل إنماحرم ربي الفواحش ما ظهر منهاومابطن والإثم والبغي بغيرالحق….." (الأعراف: 33)
Maka jelas bahwa kata bughat adalah bentuk jama' dari fa'il (subjek) baghin dan fi'il madhi-nya (kata kerja) bagha
Arti al Bughat secara istilah tidak jauh beda dengan arti secara bahasa, meskipun para ulama banyak berbeda pendapat sesuai dengan disiplin ilmunya, terutama para ulama fiqih. Menurut kesimpulan akhir dari perbedaan fuqaha' tentang definisi bughat: Kelompok yang menentang pemimpin yang sah dengan cara menolak setiap kewajiban sebagai rakyat dan berupaya dengan menghimpun kekuatan untuk mencopotnya . Sedangkan definisi al bughat menurut ulama tafsir:
" وهوالذي يخرج علىالإمام يبغي خلعه, أويمنع من الدخول في طاعةله, أويمنع حقا يوجبه عليه بتأويل" .
Al Baghi menurut Ibnu al 'Arabi ialah orang yang selalu mencari-cari kesalahan, menentang imam yang sah dan keluar dari jama'ah. Menurut Prof. Muhammed Sayye Thanthawi , bughat adalah orang yang berbuat dzalim atau menganiaya manusia dan berbuat kerusakan di muka bumi . Dari definisi yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan, bahwa bughat adalah orang yang menentang imam (pemerintahan) yang sah dan menyatakan diri keluar dari pemerintahan dengan membentuk golongan dan pemimpin tersendiri atau berbuat dzalim dan kerusakan dimuka bumi.
Dengan definisi ini jelas kiranya bahwa term bughat hanya terjadi dalam negara agama Islam yang sah dan berlandaskan al Qur'an dan as Sunnah. Maka negara manapun kiranya tidak dapat diukur dari sisi hukum Islam jika konstitusinya bukan syari'ah Islamiyah.

Lintasan peristiwa dan Pemahaman Ayat al Bughat
Dalam sejarah tentang istilah al bungat tidak dapat dijelaskan siapa yang menciptakan istilah al bughat dan siapa yang pertama kali mempopulerkannya. Namun yang jelas kita dapat mengetahuinya dari ayat al Qur'an (al Hujurat: 9) yang menyebutkan tentang al bughat dan hadits Nabi Muhammad saw. yang senada dalam menjelaskan tentang status dan hukumnya.
Pada masa Nabi saw. ada peristiwa bahwa, Nabi Muhammad saw. pernah ditanya oleh seseorang: Hai Rasulullah, jika engkau didatangi oleh Abdullah bin Ubay dengan menunggangi himar bersama orang-orang muslim yang berjalan kaki. Lalu himarnya berkencing di atas tanah yang subur, bagaimana menurutmu? Rasulullah menjawab: Sungguh telah menyakitiku bahu kotoran himarmu. Lalu Abdullah bin Rawahah berkata: Demi Allah, kencing kudanya lebih harum dari pada bahumu. Kemudian terjadilah perkelahian di antara pengikut Abdullah bin Ubay dan pengikut Abdullah bin Rawahah tanpa menggunakan senjata . Yang kemudian turun ayat:
"وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوافأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهماعلىالأخرى فقاتلواالتي تبغي….الخ "
Pada masa sahabat ada peristiwa yang sangat populer, dan penulis sengaja paparkan disini sesuai dengan kajian tafsir ayat al Qur'an al Karim. Ali bin Abi Thalib, ia seorang khalifah yang dipilih dan dibai'at oleh mayoritas umat Islam. Namun karena kaum oposisi (al khawarij) menentang atas sikap Ali yang menerima arbitrase terhadap kelompok pemberontak yang dikoordinir oleh Mu'awiyah, maka ia menyataka keluar dari kepemimpinan Ali ra, eksodus keluar daerah, menentang semua kewajiban dan ajakan rekonsiliasi (ishlah) dan mereka mengangkat Abdullah bin Wahhab ar Rasiby sebagai pemimpinnya . Hal ini dilakukan sebagai cermin bentuk penolakan dan penentangan terhadap kepemimpin Ali ra, karena Ali tidak layak menjadi khalifah setelah menerima kompromi politik dengan kubu Mu'awiyah yang menurut al khawarij mereka adalah bughat .
Menurut Prof. Dr. Muhamed Sayye "Thanthawi, kebijakan bughat pernah dijalankan pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabatnya (khulafa'urasyidin), dinasti Mu'awiyah dan pada masa dinasti Abbasiyah. Dan kebijakan ini(baca: bughat) dalam hal politik tidak ada .
Kalau kita telaah di antara definisi al bughat dan peristiwa penting yang menjadi sebab turunnya ayat al bughat tentu sangat sulit bagi penyaji; kira-kira korelasinya antara kasus al bughat dan teks tegas (nash sharih) dengan definisinya. Dalam ayat yang menjelaskan bughat dan lintasan peristiwa yang dijelaskan bahwa bughat adalah harus terdiri dari orang banyak dan mempunyai kelompok tersendiri. Terbukti dalam ayat menggunakan lafadz yang menunjukkan jama' ( plural/ طائفة ) yang artinya adalah kelompok. Demikian pula dalam beberapa peristiwa yang penulis baca, peristiwa antara kaum Abdullah bin Ubay dan kaum Abdullah bin Rawahah, peristiwa bughat pada masa khalifah Ali ra. Sedangkan definisi yang disebutkan oleh ulama tafsir juga Muhammed Thanthawi menyebutkan dengan kata mufrad (tunggal / الذي) yang berarti kasus itu bisa dilakukan oleh individu tidak harus oleh kelompok dilihat dari teks yang gunakan dalam definisi.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa bughat tidak harus bughat, dalam arti jama' tapi juga bisa dilakukan oleh baghi yang artinya tunggal. Sebab dalam hal tersebut adalah dzalim dan kerusakan dengan bentuk mencari-cari kesalahan imam yang sah atau cara lain karena mempunyai ekses publik yang menimbulkan terganggunya ketenangan masyarakat umum. Seperti dalam peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. bukan perbuatan oposisi yang hendak mengkudeta pemimpin yang sah (Nabi Muhammad saw.).

Hukum Memerangi Bughat
Jika kita telaah lebih dalam bahwa bughyu bukan hanya terjadi antara rakyat dengan pemimpin dan antara rakyat dengan rakyat lain. Oleh karenanya penafsiran bughat hanya dari rakyat kepada pemimpin sebagaimana ditafirkan oleh sebagian besar ulama fiqih sungguh telah mendistorsi disiplin ilmu tafsir ayat al ahkam, yang sebenarnya baghyu bisa terjadi antara pemimpin dengan pemimpin lain yang berbuat dzalim di antara mereka. Bisa pula baghyu antara rakyat dengan rakyat lainnya. Yang mereka dzalim setelah diadakan prosee rekonsiliasi (ishlah) diantaranya berbuat aniaya.
Para ulama sepakat bahwa hukum memerangi bughat atau baghi tidak berarti serta merta langsung dilaksanakan, tapi harus ada proses pendekatan, ishlah bahkan memeranginya pun dalam rangka agar ia damai atau kembali kepada kitab Allah SWT. jika mereka mau berdamai maka mereka harus dihukumi dengan adil yang dijelaskan oleh al Qur'an al-Karim . Sebagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi penolakan kaum khawarij yang menentang arbitrase, Ali ra mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdialog dengan mereka. Namun karena alasan mereka yang menolak dibuat-buat dengan jargon kalimat yang hak bertujuan bathil. Ali ra pun tidak memerangi mereka tapi mereka yang berinisiatip menyerang lebih dulu .
Jika usaha rekonsiliasi dan ishlah telah ditempuh namun mereka tetap berbuat baghyu maka hukum memerangi bughat ada dua pendapat. Pertama, hukum memerangi bughat adalah wajib kolektif (fardlu kifaya), jika diantara mereka telah mampu melaksanakan maka yang lain tidak berkewajiban untuk melaksanakan. Oleh karenannya pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib sebagian sabat (Sa'ad bin Abi Waqash, Abdullah bin 'Amr, Muhammad bin Salamah dan sahabat lainnya) tidak ikut ke medan laga untuk memerangi kaum khawarij. Pendapat ini adalah yang disepakati mayoritas ulama . Yang menjadi Dalil mereka:
 surat Al Hujurat ayat 9 yang dengan tegas menjelaskan bahwa bughat harus diperangi.
 Ayat yang tegas ini juga didukung oleh hadits yang menerangkan bahwa bughat harus diperangi:
"سيكون في أمتي اختلاف وفرقة, قوم يحسنون القول ويسيؤن العمل, يمرقون من الدين كمايمرق السهم من الرمية, لايرجعون حتى يرندعلىفرقة, هم شرالخلقوالخليقة طوبىلمن قتلهم أوقتلوه. قالوا يارسول الله: ماسيماهم؟ قال : التحليق" .
 Pada masa sahabat yang terakhir, Ali bin Thalib para sahabat sependapat bahwa kaum khawarij adalah bughat yang harus (wajib kolektif) diperangi dengan pedang jika mampu diselesaikan dengan cara lain .
Sebagian ulama berpendapat bahwa memerangi bughat yantg mukmin hukumnya tidak boleh. Argumentasi mereka:
 Hadits Nabi Muhammad saw. : "كفر سباب المؤمن فسوق وقتاله "
 Bughat menurut mereka adalah orang mukmin yang tidak boleh dibunuh atau diperangi .
Dari dua pendapat di atas dapat kita baca tentang pemahaman ulam-ulama terdahulu terhadap sikap rakyat atau pemimpin yang dzalim. Apakah mereka harus diperangi dalam arti akhirnya harus di bunuh atau cukup diberi tahu dan diingatkan dengan hukum-hukum Allah SWT. Penulis dalam hal ini bersikap bahwa bughat atau baghi harus diperangi, dengan arti harus diajak untuk kembali kejalan yang hak setahap demi setahap. Jika mereka tidak bisa diajak benar dengan cara halus, maka ada dua hal; pertama, jika mereka seorang diri, maka dilakukan hukum sebagaimana ketentuan dalam syari'at Islam, seperti hudud. Jika mereka berkelompok tentu diupayakan dengan jalan damai, dengan cara kepengadilan atau arbitrase untuk jalan kompromi agar tidak terjadi pertumpahan darah sesama muslim.

Hukum Harta Benda Bughat
Harta benda bughat yang dirampas ketika berperang, apakah menjadi harta ghanimah (harta rampasan yang halal) bagi umat Islam yang memeranginya ? Para ulama berbeda pendapa tentang harta bughat sebagai berikut:
A. MENURUR MAYORITAS ULAMA BERPENDAPAT BAHWA, BUGHAT BOLEH DIPERANGI DAN HARTANYA HARAM DIRAMPAS. MEREKA BERARGUMENTASI DENGAN:
1. BUGHAT TETAP MENJADI ORANG MUKMIN, TIDAK MENJADI KAFIR HANYA SAJA MEREKA FASIK KARENA MEMBANGKANG. SEDANGKAN MEREKA DIPERANGI AGAR MEREKA SADAR DAN KEMBALI KEPADA SYARI'AT ALLAH SWT.
2. ALI BIN ABI THALIB RA KETIKA MEMERANGI KAUM KHAWARIJ TIDAK MENGANGGAP MEREKA KAFIR DAN TIDAK MERAMPAS HARTA BENDANYA, SEHINGGA ALI RA. MENCARI KEJELASAN, APAKAH KAUM KHAWARIJ MEMAKI 'AISYAH RA (UMMIL MUKMININ), DAN APAKAH MEREKA MENGHALALKAN SESUATU KEPADA ‘AISYAH SEBAGAIMANA MENGHALALKAN KEPADA LAINNYA.
3. HADITS ABDULLAH BIN UMAR DARI NABI MUHAMMAD SAW. IA BERKATA:
" ياعبدالله أتدري كيف حكمالله فيمن بغى من هذه الأ مة ؟ قال: الله ورسوله أعلم. فقال: لايجهزعلى جريها, ولايقتل أسيرها, ولايطلب هاربها, ولايقسم فيئها" .
B. Menurut Abi Yusuf (murid Abu Hanifah) bahwa, apapun yang dibawa oleh bughat ke medan laga, baik berupa senjata atau harta benda adalah ghanimah yang haru dibagi. Ia berdalil dengan peristiwa yang dilakukan oleh Ali ra. ketika perang Jamal, Ali membagi hasil ghanimah di perang Jamal kepada para sahabatnya.
Dalam masalah harta atau senjata yang dimiliki oleh bughat yang dikalahkan di medan perang adalah bukan bukan ghanimah, sebagaimana yang pendapat dan dalil yang telah dipaparkan oleh jumhur al ulama. Di samping itu, argumen Abu Yusuf ada kemungkinan lain, bahwa Ali ra. membagikan peralatan, senjata dan bekal lainnya adalah untuk persiapan antisipasi serangan berikutnya. Indikasi ini diperkuat dengan cerita Ibnu Abbas bahwa kaum khawarij menaruh dendam kepada Ali ra. Beliau berkata:
أفتسبون أمكم عائشة , ثم تستحلون منها ماتستحلون غيرها فلئن كفر" فعلتم لفد "
Hemat penyaji riwayat ini menjelaskan bahwa bughat tidaklah sampai menjadi kafir yang jika diperangi maka seluruh harta miliknya menjadi ghanimah.

Status Kekuasaan bughat
Bughat mungkin berbuat dzalim kepada pemimpin juga mungkin kepada masyarakat umum. Jika bughat menentang pemimpin yang sah dan mampu menguasai daerah tertentu, kemudian menerapkan hukum dengan kekuasaannya, seperti menarik zakat dan menjalankan hukum hudud, maka hukumnya legal dan sah . Demikian pendapat Abu Yusuf. Ia berargumentasi bahwa hak imam memungut zakat adalah untuk melindungi rakyat, ketika imam tidak bisa melindungi rakyat dari bughat, maka sesuatu yang diambil dari rakyat telah memenuhi kewajibannya membayar zakat. Argumen ini dianalogikan dengan daerah yang tidak ada penguasanya, kemudian semua warga daerah itu sepakat bahwa semua urusan daerah diserahkan kepada seseorang, maka hukum dan tindakan orang itu sah dan intruksinya harus dilaksanakan .

Relasi Ayat al Bughat dan Ayat al Muharabah
إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الحياة الدنيا ولهم في الأخرة عذاب عظيم @ إلا الذين تابوا من قبل أن تقدروا عليهم ….
Al Muharab adalah ism mashdar dari fi’il (kata kerja) haraba حرابا ) حارب - يحارب – و محاربة) yang artinya memerangi (قا تله ). Al Muharabah secara istilah adalah sebagaimana yang didefinisikan Imam Malik: “Orang yang Mengganggu di jalanan, membuat orang banyak khawatir dan membuat kerusakan di muka bumi meskipun mereka tidak membunuh orang” . Dengan definisi ini jelas bahwa yang dimaksud memerangi Allah SWT dalam ayat di atas adalah memerangi kekasih-Nya, yaitu kaum muslimin dengan berbuat onar meskipun tidak membunuh. Sebab ada dua alasan mengapa dalam ayat tersebut tidak bermakna hakiki tetapi bermakna metafora (majaz), ialah Allah SWT. yang diperangi oleh muharib; pertama, sifat agung, kehendak, kekuasaan dan kesempurnaan Allah SWT. tidak mungkin dapat diperangi oleh manusia ciptaan-Nya; yang kedua, kata memerangi mengandung arti berhadap-hadapan yang terdiri dari arah, sedangkan Allah SWT. maha suci dan arah .
Dari uraian diatas dapat kita fahami bahwa bunghat yang menentang imam atau membuat kerusakan di muka bumi adalah perbuatan yang masih paralel dengan muharabah dari sisi ini keduanya sama membuat onar dan kerusakan di muka bumi. Namun ada perbedaan yang mencolok di antara perbuatan bughat dan muharabah yaitu (1) akar masalah bughat berawal dari konflik, lalu berdamai yang kemudian di antaranya ada yang berkhianat kepada yang lainnya. Sedangkan muharabah akar masalahnya adalah dari perbuatan seseorang untuk berbuat onar dan kerusakan di muka bumi; (2) bughat terjadi antar bawahan kepada atasan atau antar sesama derajatnya. Sedangakan muharabah adalah perbuatan seseorang yang obyeknya adalah orang banyak; dan yang (3) bughat hukumannya sebagai mana tersebut di atas. Sedangakan hukuman muharabah adalah sesuai dengan kesalahannya; jika mengganggu jalan umum dan merampas harta, maka ia dipotong tangannya dan kakinya. Jika merampas harta dan membunuh, maka ia dipotong kakinya dan disalib. Jika hanya membunuh dan tidak merampas harta, maka ia dibunuh. Dan jika ia hanya berbuat onar tidak membunuh dan tidak merampas harta maka ia diasingkan atau dipenjara . Inilah titik relasi sekaligus perbedaan di antara bughat dan muharabah dilihat sebab turunnya ayat dan implikasi hkumnya.

Catatan Penyaji
Dari ulasan di atas penyaji mempunyai catatan tentang memahami bughat yang dikehendaki al Qur'an al Karim secara orisinil, bahwa:
 Bughat adalah orang mukmin yang dzalim, perselisihan mereka tidak bisa diselesaikan secara damai agar kembali ke dalam barisan umat Islam.
 Bughat mungkin terjadi antar pemimpim daerah juga mungkin antar rakyat umum atau antar rakyat kepada pemimpin yang sah dengan upaya kudeta terselubung.
 Bughat adalah orang mukmin yang dzalim, dan ketika mereka menolak untuk damai, maka mereka itu tetap mukmin.
 Cara konsolidasi adalah penyelesaian pertama jika ada perselisihan antar sesama mukmin. Namun jika tidak bisa diselesaikan secara damai, maka mereka harus diperangi sesuai kadar penentangan mereka.
 Jika bughat melakukan penentangan kepada pemimpin yang sah sehingga menguasai suatu daerah, maka pelaksanaan hukum Islam di bawah kekuasaan bughat hukumnya sah selagi tidak bertentangan dengan al Qur'an dan as Sunnah.
 Antara bughat dan muharabah ada titik temu, ialah sama-sama berbuat kerusakan di muka bumi. Namun tampak berbeda dari sisi akar masalah dan hukumannya.
Demikian tulisan dan catatan kami untuk mengantar diskusi kuliah PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta materi Tafsir Ayaat al Ahkam. Selamat berdiskusi….

CORAK PEMIKIRAN HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

CORAK PEMIKIRAN HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
M Cholil Nafis MA
Sekretaris MUI Provensi DKI Jakarta, Staf Pengajar Ekonomi Syari'ah Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Studi fatwa-fatwa di Indonesia terasa sangat menarik mengingat mayoritas penduduk negeri ini adalah masyarakat muslim penganut mazhab suni. Pemberi fatwa di Indonesia sepenuhnya dilakukan oleh ulama secara perorangan hingga permulaan abad ke-20. pada kuartal kedua abad ke-20, beberapa fatwa telah mulai diberikan oleh para ulama secara kelompok. Pada tahun 1926 M para ulama tradisional telah mendirikan perkumpulan Nahdlatul Ulama dan mulai mengeluarkan fatwa untuk para pengikutnya melalui Lajnah Bahtsul Masail bersamaan waktunya dengan kongres pertamanya pada tahun itu juga. Muhammadiyah yang berpendirian modern, yang didirikan pada tahun 1912 M, pada mulanya tidak memperhatikan soal fatwa hingga tahun 1927 M, sewaktu organisasi itu membentuk panitia khusus yang diberi nama Majelis Tarjih, yang bertugas menetapkan soal-soal keagamaan umumnya dan hukum Islam khususnya.
Perkembangan berikutnya muncul pada tahun 1975 M dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Baik ulama dari kalangan tradisional maupun kalangan modern mempunyai wakil-wakilnya dalam MUI, dan melalui perhimpunan itu memberikan fatwa-fatwa bersama. Sejak didirikan pada tahun 1975 M hingga sekarang, MUI telah melahirkan fatwa-fatwa banyak sekali, meliputi soal upacara keagamaan, pernikahan, kebudayaan, politik, ilmu pengetahuan, kedokteran dan ekonomi, yang sebagian besar dikumpulkan dalam Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia II, Himpinan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang dimulai dengan lahirnya Undanga-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandunng ketentuan bolehnya bank konvensional beroprasi dengan sistem bagi hasil. Kemudidian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari'ah di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari'ah baru atau cabang syari'ah pada bank konvensional. Maka praktik keuangan syari'ah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syari'at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu dibentuknya suatu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.
Dewan Syariah Nasional -MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 telah mengeluarkan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 telah mengeluarkan sebanyak 64 fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu'amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari'ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu'amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Alquran al Karim, Hadits Nabawi, Ijma' dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari'ah, dan 'urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisio-ekonomi disekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.
Fatwa-fatwa ekonomi Islam yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia merujuk pada buku pedoman untuk mengeluarkan fatwa yang diterbitkan oleh MUI pada tanggal 2 Oktober 1997. Dalam buku itu disebutkan, dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa merujuk pada urutan tingkatan; Alquran, Sunah Nabawi, ijma'-qiyas, serta dalil global lainnya.
Hal ini masih harus dilengkapi dengen penelusuran dan penelitian kepada pendapat-pendapat imam mazhab terdahulu. Kemudian meminta pandangan para ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya.
Dalam prosedur penetapa fatwa pada pasal 3 ayat 2 dan 3 disebutkan mengenai masah yang telah jelas hukumnya (qath'iy) hendaklah Komisi Fatwa menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nash (teks) dari Alquran dan sunah. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pen-tarjih-an.
Cara penulisan dan format keputusan Komisi Fatwa biasanya mengemukakan bahwa Komisi telah mengadakan siding pada tangga tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang atau badan-badan tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan mengemukakan dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa dimaksud.
Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai berdasarkan ayat Alquran disertai hadis yang bersangkutan serta kutipan naskah-naskah fikih dalam bahasa Arab. Dalil secara akal (rasional) dan pendapat para pakar juga kadangkala disertakan sebagai keterangan pendukung. Setelah itu barulah pernyataan sebenarnya dari fatwa itu diberikan dan hal itu dicantumkan di bagian akhir.
Pengujian terhadap corak pemikiran hukum ekonomi Islam dilihat dari fatwa-fatwa MUI dapat dilihat dari fatwa MUI tentang bunga bank. Pada tanggal 16 Desember 2003 MUI menetapkan suatu keputusan bahwa bunga bank termasuk riba nasiah yang haram hukumnya. Keputusan ini melibatkan sejumlah anggota Komisi Fatwa tinggkat wilayah dalam forum "Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia".
Keputusan tentang bunga (interest) itu terdiri atas dua bagian: konsideran dan ketetapan. Ketetapannya terdiri atas empat bagian: pengertian bunga bank, hukum bunga bank, hukum bermu'amalah dengan bank konvensional, dan dasar-dasar penetapan fatwa.
Terdapat enam hal yang dijadikan pertimbangan dan dimuat dalam konsideran keputusan tersebut: (1) pidato menteri agama RI dalam acara ijtima' ulama Komisi Fatwa se-Indonesia; (2) pidato pembukaan ketua umum MUI; (3) ceramah pimipinan delegasi Darul Ifta', Saudi Arabia; (4) ceramah deputi gubernur Bank Indonesia; (5) penjelasan ketua Komisi Fatwa MUI Pusat; (6) Pendapat-pendapat yang berkembang pada sidang-sidang Komisi Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia.
Ketetapan ijtima' ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang bunga bank terdiri atas tiga bagian: pertama, pengertian bungan dan riba. Bunga bank adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan manfaat/hasil pokok tersebut, berdasarkan lamanya pinjaman (durasi), dan diperhitungkan secara pasti di awal berdasarkan prosentase. Sedangkan riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Ini adalah riba nasi'ah.
Kedua, ketetapan bahwa praktik pembungaan uang dalam perbankan konvensional telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, yakni riba nasi'ah. Dengan demikian, paraktik pembungaan bank uang termasuk salah satu bentuk riba, dan haram hukumnya.
Ketiga, hukum bermu'amalah dengan bank bank yang menggunakan sistem bunga (bank konvensional) ditetapkan dua hukum: bagi penduduk yang tinggal di daerah yang sudah terbentuk Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS), tidak diperbolehkan (haram); dan bagi penduduk yang tinggal di daerah yang belum terbentuk Lembaga Keuangan Syari'ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional dengan alasan keterpaksaan dan darurat (al dlarurat wa al hajat).
Ada enam dasar penetapan dalam keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia. Secara umum enam dasar penetapan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) Pendapat uma' secara perorangan; (2) Pendapat lembaga atau ormas Islam internasional (luar Indonesia atau asing); dan (3) pendapat ormas Islam di Indonesia.

Terdapat sembilan pendapat ulama yang dijadikan dasar penetapan hukum bunga bank konvensional, yaitu pendapat Imam Nawawi, Ibn Al 'Arabi, Al 'Ayni, Al Syarkhasyi, Al Raghib Al Isfahani, Muhammad 'Ali Al Shabuni, Muhammad Abu Zahrah, Yusuf Al Qurdlawi, dan Wahbah Al Zuhaili. Akan tetapi dari sembilan ulma yang dijadikan landasan penetapan hukum bunga bank hanya dua ulama yang secara tegas mengharamkan bunga bank, yaitu Yusuf Al Qurdlawi dan Wahbah Al Zuhaili. Ulama lainnya hanya mengaharamkan riba sebagaimana diharamkan oleh Allah SWT dalam Alquran Al Karim.

Keputusan institusi fatwa internasional yang menetapkan bahwa bunga bank haram yang dijadikan landasan pengambilan keputusan oleh Komisi Fatwa MUI adalah: (1) Majma' al Buhuts al Islamiyyah di Universitas al Azhar, Mesir (Mei 1965); (2) Majma' al Fiqh al Islami yang diselenggarakan oleh Negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang diselenggarakan di Jeddah tanggal 22-28 Desember 1985; (3) Majma' Fiqh Rabithah al 'Alam al Islami yang diselenggarakan di Makah (12-19 Rajab 1406); (4) keputusan Dar al Ifta', Kerajaan Saudi Arabia (1979); dan (5) keputusan Supreme Shariah Court Pakistan (22 Desember 1999).

Keputusan ormas Islam Indonesia yang dijadikan landasan oleh Komisi Fatwa MUI adalah: (1) Fatwa Dewan Syari'ah Nasional (DSN) MUI tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syariah; (2)Munas Alim Ulama dan Konfrensi Besar NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya bank Islam dengan sistem tanpa bunga; ( 3) Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyatakan kepada Pengurus Pusat Muhammadiyah agar mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.

Dengan demikian, penetapan hukum bunga bank konvesional dilihat dari metodologi pengambilan hukum (thariqah istinbath al hukm) dapat dilihat dari landasan penetapannya. Dipandang dari segi metodologi penetapan hukum bunga bank oleh fatwa tersebut menggunakan dua metode sekaligus. Yang pertama adalah qiyas (analogi, perbandingan) dan yang kedua adalah talfiq (mengikuti aturan suatu mazhab lain dari pada yang biasa dianut).

Penggunaan qiyas rupanya dilakukan dalam usaha untuk mewujudkan persesuaian antara bungan bank konvensional dengan praktik riba pada zaman Rasulullah, yaitu, ashal riba, far'u bunga bank, 'illat-nya (faktor hukum) tambahan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran tanpa ada imbalan yang diperjanjikan, hukum ashal-nya adalah haram. Maka natijah (kesimpulan)-nya hukum bunga bank konvesional adalah haram.

Sedangkan penggunaan talfiq dapat dilihat dari beberapa landasan keputusan fatwa. Pertama, dapat dilihat dari diterimanya pendapat ulama kontemporer, yaitu pendapat Dr Yusuf al Qurdlawi dan Dr Wahbah al Zuhaili. Kedua, pendapat para imam yang terdiri dari beberapa mazhab tentang diharamkannya riba oleh Allah SWT; dan ketiga, pendapat institusi fatwa nasional dan internasional.

Semua landasan keputusan ini tidak terikat dengan suatu mazhab tertentu dan juga tidak terikat kepada klasifikasi periode imam mazhab. Walaupun diakui bahwa dominasi corak mazhab Syafii sangat kental dalam keseharian umat Islam di Indonesia tampaknya dalam masalah muamalah maliah kontemporer sangat fleksibel dan akomodasi terhadap berbagai mazhab. Bahkan tidak berlebihan jikan dikatakan bahwa corak pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia memfaforitkan qiyas dan sifat keharusan talfiq dalam bermazhab guna mencapai kemashlahatan umat. Wallahu a'lam bi al shawab.

IMUNISASI PERSPEKTIF ISLAM

IMUNISASI PERSPEKTIF ISLAM
Oleh. H.M. Cholil Nafis, MA

Mengenal Imunisi
Masyarakat Indindonesia, khususnya kum ibu yang memiliki bayi dan balita, calon jemaah haji dan calon mahasiswa luar negeri dapat dipastikan telah mendengar dan mengenal kata imunisasasi. imunisasi tak sekedar mitos menjauhkan anak dari penyakit, imunisasi juga diperlukan dalam mencegah penyakit yang berjangkit di luar negeri, seperti imunisasi meningitis wajib bagi calon jemaah haji. Di samping itu, catatan kelengkapan imunisasi diperlukan pula untuk sekolah di luar negeri.
Apakah yang dimaksudkan dengan sistem imun? Kata imun berasal dari bahasa Latin ‘immunitas’ yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi, terhadap penyakit menular.
Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh. Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan perlindungan (kekebalan tubuh) di dalam tubuh bayi dan anak. tujuan akhir imunisasi adalah mengeradiksi (melenyapkan dari muka bumi) penyakit. Contohnya saja, di tahun 1987, penyakit cacar telah lenyap. Diharapkan, pada tahun ini (dulu ditargetkan tahun 2003), penyakit polio sudah eradiksi di Indonesia
Berdasarkan teori antibody, ketika benda asing masuk seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh manusia, maka tubuh akan menandai dan merekamnya sebagai suatu benda asing. Kemudian tubuh akan membuat perlawanan terhadap benda asing tersebut dengan membentuk yang namanya antibody terhadap benda asing tersebut. Antibodi yang dibentuk bersifat spesifik yang akan berfungsi pada saat tubuh kembali terekspos dengan benda asing tersebut. Tubuh manusia dilengkapi dengan antibodi untuk mengatasi serangan penyakit, tetapi kadar tiap orang berbeda-beda. Makanya, imunisasi ditujukan untuk meningkatkan kekebalan seseorang lewat vaksin.
Pemberian vaksin dilakukan dalam rangka untuk memproduksi sistem immune (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit. Menurut staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI Prof Dr Sri Rezeki S Hadinegoro PhD, imunisasi bukanlah obat yang bisa mengobati seseorang terhadap penyakit tertentu. Imunisasi adalah upaya untuk pencegahan infeksi terhadap penyakit dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh seseorang lewat antibodinya. Kegiatan vaksinasi ini sesungguhnya adalah memberikan suatu zat tertentu pada tubuh si anak, baik secara oral atau pun injeksi. Tujuan dari vaksinasi adalah pembentukan kekebalan tubuh si anak bayi/balita sesuai dengan vaksin yang disuplai.
Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap virus. Terbuat dari virus yag telah dimatikan atau "dilemahkan" dengan menggunakan bahan-bahan tambahan lainnya seperti formalaldehid, thymerosal dan lainnya. Sedangkan vaksinasi adalah suatu usaha memberikan vaksin tertentu ke dalam tubuh untuk menghasilkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit /virus tersebut. Jenis-jenis vaksinasi yang ada antara lain vaksin terhadap penyakit hepatitis, polio, Rubella,BCG, DPT, Measles "Mumps-Rubella (MMR) cacar air dan jenis penyakit lainnya seperti influenza. Di Indonesia sendiri praktek vaksinasi yang hampir selalu dilakukan pada bayi dan balita adalah Hepatitis B, BCG, Polio dan DPT. Selebihnya seperti vaksinasi MMR adalah bersifat tidak wajib. Ada pun vaksinasi terhadap penyakit cacar air (smallpox) termasuk vaksinasi yang sudah tidak dilakukan lagi di Indonesia.
Penyakit polio merupakan salah satu masalah kesehatan dunia yang penanganannya memerlukan kerja sama antar bangsa-bangsa di dunia. Penyakit polio menular dari orang ke orang tidak melalui perantara sehingga penyakit ini paling mungkin untuk dieradikasi dari muka bumi setelah penyakit cacar dapat dieradikasi 1978. WHO dalam Sidang World Health Assembly tahun 1988 telah menetapkan Program Pemberantasan Polio Global, yaitu gerakan internasional untuk membasmi polio dari muka bumi.
Dari gerakan tersebut telah diselamatkan lima juta anak dari kelumpuhan akibat polio. Pada tahun 2004 terdapat 1.266 kasus polio di seluruh dunia, akan tetapi, lebih dari 90 persen terjadi di enam negara yaitu Nigeria, India, Pakistan, Niger, Afganistan, dan Mesir. Polio belum ada obatnya, namun penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak balita. Karena itu imunisasi polio bagi mereka sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap ancaman kematian dan kelumpuhan, meskipun tidak semua kelumpuhan disebabkan virus polio

Imunisasi Dalam Islam
Menciptakan keturunan yang berkualitas berarti juga membangun generasi penerus bangsa yang bermutu. Bermula dari keluarga sebagai unit sosial terkecil, bagaimana bisa melahirkan anak-anak yang cerdas, sehat lahir batin dan tidak lemah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوْا اللّهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا (النساء 9)
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan anak-anak yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka, maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar".
Untuk menghindari generasi yang lemah hendaknya kita mengikuti apa yang telah diajarkan oleh agama, yaitu memberikan ASI (Air Susu Ibu) dan makanan yang halal dan baik (halalan thoyyiba).

Oleh Karen itu, setiap ibu yang baru melahirkan, pada dasarnya, wajib memberikan air susu yang pertama keluar (colostrum, al-luba') kepada anaknya dan dianjurkan pula memberikan ASI sampai dengan usia dua tahun. Hal tersebut menurut para ahli kesehatan dapat memberikan kekebalan (imun) pada anak. Sebagaimana ditegaskan oleh al Qur’an al Karim:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لمَنْ أََرَادَ أَنْ يُتم الرضَاعَةُ ... (البقرة 233)
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuhkalau hendak menyempurnakan susuan" (QS. 2 : 233)
ASI (Air Susu Ibu) sangat dianjurkan karena kemujaraban dan manfaatnya yang sangat besar. ASI lah makanan yang paling cocok untuk bayi karena mengandung kadar zat kekebalan untuk melindungi bayi dari penyakit menular, gizi yang tinggi untuk pertumbuhan dan kecerdasan bayi, dapat menjalin hubungan batin yang erat bagi bayi dan ibunya, dan masih banyak manfaat lainnya. Tetapi survey Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, baru 52 persen dari sekitar empat juta ibu yang melahirkan memberikan ASI secara eksklusif pada usia bayi 0-4 bulan. Dalam kitab I'anatut Thalibin, Jilid IV, hal 100 disebutkan:
وَيَجِبُ عَلَى أُمٍّ إرْضَاعُ وَلَدِهَا اَللُّبَاءَ وَهُوَ اللَّبَنُ أَوَّلَ الْوِلاَدَةِ وَمُدَّتُهُ يَسيْرَةٌ وَقِيْلَ يَقْدُرُ بِثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَقِيْلَ سَبْعَةٍ.
Diwajibkan kepada seorang ibu menyusukan kepada anaknya ("alluba" Colestrum), yaitu susu yang keluar pertama-tama sesudah melahirkan, dan masa keluarnya antara 3 sampai 7 hari."
Selain ASI, Imunisasi dapat berupa memberi asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang memaksimalkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang meminimalkan dan menghilangkan zat yang bersifat menurunkan kerja sistem imun atau kekebalan tubuh manusia. Menjauhkan dan menghentikan asupan nutrisi yang bersifat menurunkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
يَأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِيْ الأَرْضِ حََلالاَ طَيِّباً
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi" ( al Baqarah : 168)
Sebenarnya, kita tidak menginginkan untuk meninggalkan anak-cucu kita dalam keadaan terbelakang sehingga akan merepotkan orang lain bahkan mengakibatkan kemunduran bangsa. Sebaliknya kita harus didik mereka secara profesional dan proporsional untuk mencapai kehidupan yang layak dan kesuksesan yang gemilang, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani. Nabi bersabda:
إنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةًً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ.
(أخرجه البخاري عن سعدبن أبي وقاص)
"Sungguh lebih baik bagi kalian meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan mereka lemah menjadi beban masyarakat." (HR. Bukhari dari Said Ibn Waqqas).
اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيٌّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَي اللّهِ مِنَ الْمُؤْمنِ الضَّعِيْف. (رواه مسلم
" Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah SWT dari pada orang mukmin yang lemah. (HR. Muslim)

Hukum Imunisasi
Diantara tujuan syariah Islam (maqashid al syariah al islamiyah) adalah memelihara jiwa (hifdz al nafs). Begitu penting memelihara jiwa ini sehingga menjadi urutan pertama dalam tujuan syariah. Bahkan al Quran menegaskan bahwa orang yang membunuh jiwa orang tanpa ada dosa pidana kemanusiaan yang dia lakukan maka seakan-akan dia telah membunuh semua umat manusia (al Maidah: 32). Adapun sesuatu yang dapat memelihara dan meningkat kekebalan tubuh untuk mencapai kesehatan yang prima adalah termasuk bagian dari memelihara jiwa.
‘Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati’. Pepatah ini tidak sekedar slogan, bahkan kalau dilihat lebih mendalam lagi ajaran Islam juga menganut asas ini. Bisa dilihat banyak larangan-larangan dalam Islam menganut asas ini seperti larangan berzina dan larangan makan makanan yang tidak halal dan tidak bergizi. Semua ini dimaksudkan untuk mencegah akibat yang lebih buruk di masa yang akan datang. Prinsip semacam ini dalam Islam disebut Sad al-Dzariah (menutup peluang terjadinya akibat buruk) atau tindakan preventif. Kaidah Fiqhiyah mengatakan:

دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
“Mencegah kerusakan didahulukan dari pada meraih kebaikan”.
Maka jelas dalam Islam, hukum pencegahan penularan penyakit melalui imunisasi hukumnya adalah wajib Kifayah (wajib kolektif) dan umat Islam harus berpartisipasi dalam imunisasi dengan kemampuan masing-masing. Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan (halal) namun wajib berupaya untuk mencari jenis vaksin yang yakin murni dihalalkan syariah. Sebab pada zaman Rasulullah saw. “ada sekelompok orang dari suku 'Ukl atau 'Urainah datang dan tidak cocok dengan udara Madinah (sehingga mereka jatuh sakit); maka Nabi saw. memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan (agar mereka) meminum air kencing dari unta tersebut". (HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik).
Islam sangat mendorong umat Islam untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan. Orang yang menjadi relawan imunisasi untuk menciptakan generasi yang kuat maka ia telah melaksanakan fardlu kifayah. Hanya orang yang melaksanakan fardlu kifayah yang dapat menolong sesama dan melaksanakan firman Allah SWT:
            ..... 
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al-Maidah: 3)
Dalam hadis Rasulullah juga ditegaskan:
وَالله ُفِيْ عَوْنِ العَبْدِ مَا كاَنَ العَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
“Dan Allah selalu menolong seorang hamba selagi hamba-Nya mau menolong saudaranya”. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Maka dari itu, seorang relawan imunisasi harus benar-benar meniatkan dirinya dalam rangka menolong orang lain. Orang yang dapat menolong orang lain harus bangga karena dirinya berarti bermanfaat bagi orang lain. Karena Rasulullah saw bersabda bahwa orang yang paling baik di sisi Allah SWT adalah orang paling bermanfaat kepada orang lain.
خَيْرُ النَّاسِ عِنْدَاللهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. (Al-Hadits)

Wallahu a’lamu bi alshawab

Sekedar tambahan untuk tulisan pak Cholil Nafis :
masukkan hadis yang mendukung imunisasi : laa taqtuluu aulaadakum
sirran, fawalladzii nafsii biyadih, innal ghaila layudrika al-faarisa
`alaa zhahri farasihi hattaa yashra`ahu, artinya ; jangan kalian
membunuh anak-anakmu secara rahasia, sesungguhnya, ( anak) yang
menyusu pada ibu hamil (kelak) tidak akan mampu mengejar penunggang
kuda kecuali ia terlempar . Hadis yang diriwayatkan Abu daud ini
menjelaskan hak anak dalam memperoleh air susu ibu, janganlah seorang
ibu yang sedang mengandung, menyusui bayinya, karena baik bayi yang
dalam kandungan maupun yang sedang disusui, keduanya akan menjadi anak
yang tidak immune, oleh Nabi digambarkan, jika mereka mengikuti balap
kuda, keduaanya akan kalah.
Juga ayat : wahamluhuu wafishaaluhu tsalaatsuuna syahran, ( al-Ahqaaf
: 15) menyiratkan adanya hak bayi memperoleh air susu ibu, sejak
dalam kandungan minimal 6 bulan lamanya dan sejak bayi dilahirkan
maksimal 24 bulan ( haulaini kaamilain)


Dari mursyidah thahir

LANGKAH MEMBERANTAS KORUPSI

LANGKAH MEMBERANTAS KORUPSI
Oleh: H.M.Cholil Nafis, M.A.

Di media massa, baik elektronik maupun cetak setiap hari tiada sempurta tanpa berita korupsi. Korupsi dan korupsi selalu disuguhkan oleh media. Hebatnya, para wartawan sangat jeli dan lihai dalam memperoleh berita terbaru tentang korupsi. Memang, hampir seluruh departemen dan level di Indonesia tercinta ini dililit oleh penyakit korupsi. Kalau masa Orde Baru kita hanya memperoleh berita bahwa Negara Indonesia terkorup di Asia dan peringkat ketiga di dunia tanpa tahu perinciannya, maka di era reformasi ini memaparkan sarang-sarang korupsi dan pemerataan distribusi peluang korupsi di setiap lapisan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, departemen mana yang tidak diberitakan bahwa di dalamnya terdapat kejahatan korupsi. Dulu sering diberitakan adanya korupsi di dunia perbankan dan di kalangan ekskutif tertentu, namun di era reformasi yang telah berjalan tujuh tahun ini makin sempurna berita tentang korupsi. Sekarang kita lihat pemberitaan media massa tentang sejumlah anggota dewan daerah yang masuk penjara karena kasus korupsi, berapa gubernur dan Bupati/Wali kota yang diperiksa dan masuk penjara karena korupsi, berapa banyak tokoh masyarakat yang diperiksa dan masuk penjara karena korupsi, berapa banyak akademisi yang diperiksa dan masuk penjara karena korupsi, penegak hukum, advokat dan lembaga peradilan sedang dirundung kasus korupsi. Bahkan yang paling mengejutkan bagi kita umat Islam adalah mantan Menteri Agama, akdemisi dan kyai diperiksa dan ditahan karena tersangka korupsi, termasuk Dirjen yang mengurusi orang-orang muslim menunaikan ibadah haji ditahan dan diperiksan karena tersangka menyelewengkan hasil laba pengelolaan haji yang lebih dikenal Dana Abadi Umat (DAU).
Ironi memang, penduduk negara Indonesia yang meyoritas memeluk agama Islam dan terbesar diseluruh dunia, bahkan jumlah penduduk muslim Indonesi lebih besar dari pada seluruh penduduk negeri Arab. Tetapi korupsi juga tetap tumbuh subur di dalamnya. Menurut laporan Transparency Internasional (TI) menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara nomor 6 terkorup di dunia (Republikan 24/10/2005). Lantas, di mana peran keberagaam kita? Sulit memang menjawab pertanyaan yang sederhana ini. Sesuatu yang niscaya bagi Indonesia untuk melibatkan komunitas muslim dalam setiap peristiwa yang terjadi di dalam negeri, misalnya kejahatan korupsi karena memang mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Perlu dibedakan antara ajaran Islam dengan komunitas muslim, karena nilai ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin sering mengalami distorsi oleh pemahaman dan prilaku muslim sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh pemikir moderat asal Mesir, Muhammad Abduh “ Islam sering terdistorsi oleh umat muslim sendiri” (al islam mahjubun bilmuslimin).

Fiqh Melihat Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Inggris corruption yang berasal dari akar kata corrupt yang berar ti jahat, buruk dan rusak.(John M. Echols dan Hassan Shadily, 1989, 149) Secara istilah korupsi adalah perbuatan buruk dan tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya dengan tujuan untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Karena akibatnya merugikan orang lain itu, maka korupsi digolongkan sebagai tindak pidana. (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990, 85). Dalam prakteknya, korupsi lebih sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Sebagai balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah berupa kelonggaran atauran yang semestinya diterapkan secara ketat dan pembengkakan alokasi anggaran.
Berdasarkan definisi di atas, fiqh (yurisprudensi) Islam mengkatagorikan, bahwa karupsi merupakan salah satu kejahatan (jarimah) terhadap amanah. Korupsi identik dengan risywah (suap) dan at tajawwuz fi isti’mal al haq (menyalahgunakan wewenang). Jika korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi disebut pencurian (sariqah), jika dilakukan secara terang-terang dan transparan disebutk perampokan (nahb). Baik dilakukannya secara individu (fardi) maupun secara kolektif (jama’ah).
Sanksi yang layak dijatuhkan kepada koruptor tentunya dapat diukur dari efek kejahatan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Islam dalam memberi hukuman bagi setiap kejahatan dapat dilihat dari perspektif vertikal (hablun minallah) dan perspektif khorizontal (hablun minannas). Jika kejahatan hanya mengandung aspek vertical, maka seseorang cukup meminta ampun kepada Sang Kholiq dan menjalankan perintahnya. Tetapi jika kejahatan yang diperbuat menyentuh hak orang lain, maka sanksinya tergantung kepada dampak sosial yang ditimbulkan, bisa berupa hudud seperti sanksi yang dijatuhkan kepada pencuri, bisa juga dengan ta’zir (sesuai dengan hukum yang berlaku) yang bentuknya bisa lebih berat atau lebih ringan sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan mengandung aspek jera bagi pelakunya.
Cara efektif mengukur dampak sosial dari perbuatan jarimah (kejahatan) adalah dengan barometer tujuan syari’ah (maqashid al syari’ah) yang meliputi 5 induk; yaitu, 1) perlindungan hidup dan keselamatan jiwa dan raga (hifdz al nafs), 2) perlindungan hak meyakini dan menjalankan agamanya (hifdz al din), 3) perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan akal-budi (hifdz al ‘aql), 4) Perlindungan hak atas harta atau kekayaan yang diperoleh secara sah (hifdz al mal), 5) Perlindungan atas kehormatan dan hak keturunan (hifdz al ‘irdl wa al nasl). Perlindungan dan jaminan hak ini juga berlaku bagi non muslim yang sepakat untuk hidup bersma sebagai satu umat/bangsa.
Dalam tindakan korupsi sedikitnya terdapat tiga kejahatan. Pertama, kejahatan yang berdampak pada hilangnya keuangan negara, sehingga tindakan korupsi yang akut berakibat hilangnya hajat hidup orang banyak, memperlebar jurang kesenjangan dan menghilangkan keadilan. Kedua, kejahatan korupsi dapat menghilangkan hak hidup warga negara dan regulasi keuangan negara. Negara yang korup telah melahirkan kemiskinan, kebodohan dan kehidupan. Ketiga, kejahatan korupsi menggerogoti kehormatan dan keselamata generasi penerus. Akibat kejahatan korupsi Negara menjadi tidak terhormat di mata dunia internasional dan generasi penerus sulit bersaing dan hidup sederajat dengan bangsa-bangsa lain lantaran kehormatannya telah tercoreng.
Berdasarkan dampak tersebut, sebenarnya kejahatan korupsi dalam dampak sosialnya telah menghilngkan tiga tujuan syari’ah, yaitu melindungi jiwa, harta dan kehormatan. Sanksi yang layak dijatuhkan kepada para koruptor yang telah merampas keuangan negera, menghilangkan hajat orang banyak dan merendahkan derajat bangsa haruslah setimpal dengan perbuatannya. Jika kejahatannya tidak terlalu besar maka sanksi ta’zir yang dapat menimbulkan rasa jera bagi pelaku bisa diterapkan. Tetapi kejahatan korupsi yang akut, mungkin terulang kembali dan telah merenggut kehidupan dan hajat orang banyak, mestinya hudud dan hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelakuk korupsi.

Pemerintah memerangi korupsi.
Realisasi konsep agama memerlukan Negara/pemerintah. Karena Negara berkewajiban melindungingi keamanan rakyat, menegakkan keadilan dan memelihara kemaslahatan umum. Seperti halnya kewajiban pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi guna menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial dan ekonomi.
Setahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhouono dan Jusuf Kalla telah tertanan niat baik (good will) untuk memerangi korupsi. Hal ini bisa dilihat dari materi kampanyenya pada saat pencalonan tahun 2004 yang mengangka isu pemberantasa korupsi sebagai program utama dan dipimpin langsung oleh Presiden. Pada saat terpilih menjadi presiden, Yudhoyono merealisasikan janjinya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No. 5/2004).
Inpres tersebut belum tampak hasilnya, Presiden melangkah lebih agresif dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. II/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi (TIM Tastipikor). Komisi Pemberantasan lebih leluasa menjalankan tugasnya untuk menyidik dan memeriksa kasus besar dan mengandung terapi kejut (shock therapy)
Gerakan Pemerinkan untuk memberantas korupsi sepenuhnya direspon positif oleh publik. Buktinya, Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdltul Ulama dan Muhammadiyah bekerjasama untuk melakukan Gerakan Anti Korupsi yang terus berlangsung sampai saat. Sayang, niat baik Pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menunjukkan hasil yang signifikan. Praktek korupsi masih terus berlangsung, 465 kasus korupsi yang telah dituntaskan oleh Jaksa Agung belum menyentuh kasus korupsi yang akut.
Mungkin factor penghambat gerakan pemberantasan sehingga berjalan lambat karena masyarakat kita lebih senang serimonial daripada kerja nyata, korupsi sudah menjadi budaya birokrasi dan masyarakat Indonesia, tidak merasa zalim dan berdosa dalam melakukan praktek korupsi, penegak hukum dan lembaga peradilan kita belum bersih sepenuhnya dari praktek korupsi.
Langkah apakah yang efektif memberantas korupsi? Sederhana, mulailah dari diri sendiri, yaitu penegak hukum, lembaga peradilan, dan buatlah sistem pebuktian terbalik secara terbatas. Artinya, kekayaan tidak wajar yang dimiliki oleh penyelenggara negera, penegak hukum dan masyarakat harus melaporkan asal usulnya. Dan, jika asal usul kekayaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka kekayaan tersebut dapat diambil pemerintah dan pemiliknya diproses secara hukum.

HARI KEMENANGAN YANG FITRI

الخطبةالأولى لعيد الفطر

الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر –3 X الله أكبر كبيرا, والحمد لله كثيرا, وسبحان الله بكرة وأصيلا, لا إله إلاّالله وحده صدق وعده ونصر عبده وأعزّ جنده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلاّالله ولا نعبد إلاّ إيّاه مخلصين له الدين ولوكره المشركون ولوكره الكافرون ولوكره المنافقون. الحمد لله الذي حرّم الصيام أيّام الأعياد ضيافة لعباده الصالحين. أشهد أن لاإله إلاّالله لاشريك له الذي جعل الجنة للمتقين وأشهد أن سيدنا ومولانا محمّدا عبده ورسوله االداعي إلى الصراط المستقيم . اللهمّ صلّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمّد وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
فيآأيهاالمؤمنون والمؤمنات أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتّقون. واتّقوا الله حق تقاته ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون.

Allahu akbar 3 X Walillahi al hamdu
Sidang jama’ah Idul Fitri yang berbahagia.
Dalam suasana yang khidmat dan penuh makna di tengah nuansa kebahagiaan dan kegembiraan di hari kemenangan umat Islam, maka hari ini kita merayakan Idul Fitri, yakni hari yang penuh barokah dan ampunan. Kaum muslimin telah menang dan lulus melewati ujian “jihad akbar”, perang melawan hawa nafsu. Kita, kaum muslimin disunnatkan (dianjurkan) di manapun berada untuk mengagungkan nama Allah, memperbanyak takbir, tahmid, tahlil dan tasbih, sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT dalam firmannya:
         
Artinya: “Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kemu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah/2: 185)

Allahu akabar 3X Walillahi al hamdu
Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Ibadah puasa yang telah kita lakukan sebulan lamanya, bukan hanya telah menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan sehingga kita kembali pada ke”fitri”-an, tetapi juga telah memberi pelajaran yang sangat berharga, baik dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) maupun dalam kontek hubngan manusia dengan manusia (hablum minannas). Melalui ibadah puasa Allah SWT ingin mengajarkan dan mendidik hamba-hamba-Nya agar memliki kesalehan individu (spiritual) dan sekaligus kesalehan sosial. Keduanya tidak dapat dipisahkan atau ditinggalakan salah satunya, karena keduanya satu-kesatuan yang memiliki hubungan fungsional, bagaikan matahari dengan sinarnya. Keduanya menjadi prasyarat bagi terciptanya kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian bagi setiap insan muslim. Allah SWT berfirman:
            •• .

Artinya: “Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali senantiasa menjaga hubungan baik dengan Allah dan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia” (Q.S. Ali Imran: 112)

Allah akbar 3X Walillahi al hamdu
Jama’h shalat Idul Fitri yang berbahagia
Ramadhan telah melatih mental kita dan membiasakan diri kita untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui berbagai amaliah yang bersifat mahdhah; seperti shalat tarawih, tadarrus al Qur’an, dzikir, i’tikaf dan amal ibadah lainnya. Dan, pada saat yang bersamaan Ramadhan telah melatih dan membiasakan diri kita untuk dapat membina hubungan baik dengan sesama manusia melalui berbagai amaliah yang bersifat sosial.
Ketika kita berlatih dalam madrasah Ramadlan sebulan penuh lamnaya, menahan lapar dan haus mulai terbit fajar sampai terbenam matahari tentunya hati dan jiwa kita diasah untuk menajamkan rasa empati dan penuh perhatian kepada para saudara kita yang kurang beruntung, Mereka yang tidak mempunyai tempat tinggal tidak tahu sampai kapan ia bisa mempunyai tempat berteduh, mereka yang lapar tidak tahu sampai kapan mereka bisa makan dan minum. Bangsa kita berada pada tingkat yang mengenaskan, jumlah orang fakir (tidak punya penghasilan/pengangguran) di Indonesia mencapai 17.000.000 orang. Orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan) mencapai 17,75 % (susenas Maret 2006). Orang yang berpengahsilan kurang dari 1$ per hari sebanyak 7,2% dan yang berpenghasilan dibawah 2$ sebanyak 53 % dari penduduk Indonesia. Rendahnya aksesibilitas penduduk terhadap sumber air minum yang aman 53% dan sanitasi air yang layak 67%. Angka kematian ibu (AKI) salah satu yang tertinggi di ASEAN (307 per 100.000).
Pada pagi hari ini, kita meresa telah lulus menyelesaikan latihan ditandai dengan memakai baju baru, sarung baru, sandal baru dan semua serba baru, karena kita ingin menunjukkan bahwa jiwa kita adalah baru dan kembali kefitrian kita. Kita yang berduit bisa membeli segalanya dan bisa pulang kampung dan menemui orang tua dan famili kita. Pernahkan kita berpikir dengan saudara-saudara kita yang tidak mampu membeli pakaian baru, tidak mampu melaksanakan kegembiraan lebaran dan pada saat ini tidak mampu pulang kampung untuk menemui orang tua dan keluarganya. Di sinilah kita diuji untuk mengimplementasi ibadah puasa kita yang bersifat individu kepada kontek sosial.
Dalam konteks sosial tersebut, Ramadhan telah menuntun kita untuk senantiasa mampu menumbuh-kembangkan semangat cinta kasih dan persaudaraan. Dengan lapar dan haus yang kita rasakan dan meninggalkan hubungan seksual di siang hari diharapkan dapat menumbuhkan cinta kasih kepada sesama, terutama kepada saudara-saudara kita yang kurang mampu dan kurang beruntung, serta termarginalisasi oleh kehidupan yang semakin keras dan kompetitif. Oleh karenanya, Nabi Muhammad saw selalu mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menebarkan cinta kasih kepada sesama manusia. Nabi Muhammad saw bersabda:

ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السمآء (رواه الطبراني)
Artinya: “Sayangilah orang-orang yang ada di bumi, supaya engkau disayang oleh yang dilangit (para malaikat)” (HR. Thabrani)

Allahu akbar 3X Walillahi al hamdu
Jema’ah Idul Fitri yang berbahagia.
Guna mengimplementasikan keberhasilan ibadah puasa maka pada hari ini kita kembali kepada kefitrian kita. Fitrah adalah asal kejadian, keadaan suci. Fitrah adalah sesuatu yang universal. Karena seperti yg dikatakan oleh Rasulullah bahwa umat manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah. (kullu mauludin yuladu ‘ala al fitrah). Ini artinya bahwa fitrah adalah sesuatu yang inheren dengan jati diri manusia. ‘. Jati diri manusia adalah keberadaan umat manusia sebagai hamba Allah, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sekaligus sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Al Qur’an mengahadirkan kisah penciptaan manusia yang terdiri dari dua unsur yang tarik menarik; yaitu diciptakan dari tanah liat sebagai simbol kerendahan, atagnasi dan pasifitas mutlak, kamudian ditiupkan ruh Allah SWT sebagai simbol dari gerakan tanpa henti yang mengajak manusia ke puncak spiritual tertinggi dan tiada batas. Setelah manusia diciptakan, Allah SWT mengajarkan nama-nama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia diberi bekal tentang “kebaikan bawaan” yang terpancar lewat hati nurani.
Hati nurani adalah tanda-tanda dari dimensi ketuhanan yang bisa mengantarkan manusia untuk berproses (becaming) menuju Tuhan. Kebaikan ini dikenal dengan sebutan fitrah. ‘Idul Fitri artinya kembali keasal kejadian yang suci. Dalam pandangan ‘Ali Syari’ati adalah menjadi “manusia ideal” yang telah memenangkan ”ruh Tuhan” dari “Lumpur”. Untuk itu, manusia harus berakhlak dengan akhlak Tuhan. Manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming, menjadi, dalam filsafat Islam: insan) menuju Tuhan. Hanya dengan menjadi insan manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya.
Dalam Ibadah puasa bertujuan untuk menjernihkan hati nurani dan meraih kemerdekaan sejati. Merdeka dan bebas dari berbagai belenggu yang mengkungkung God Spot. Puasa adalah pelatihan rutin dan sistematis untuk menjaga fitrah manusia sehingga memiliki kesadran diri yang fitrah (got Spot) dan akan menghasilkan akhlak karimah. Oleh karenanya, untuk menyempurnakan kemenangan manusia melawan belenggu hawa nafsu kita diwajibkan membuang kotoran belenggu yang dismbolkan melalui zakat fitrah. Ini cara efektif bagaimana kita menyambut idul fitri. Karena dengan zakat, kita akan diingatkan bahwa harta yang kita miliki sesungguhya adalah milik Allah SWT. Oleh karena itu, sudah semestinya digunakan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT. Harta yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita, karena ada hak kaum fakir miskin. Jika kita berzakat dengan benar kita tidak akan menghambur-hamburkan harta atau mernyimpannya secara berlebihan karena merasa bahwa harta itu adalah amanah dari Allah SWT yang harus dilaksanakan.
Zakat fitrah yang dikeluarkan sebelum kita melaksanakan shalat ‘Idul Fitri adalah simbol kepedulian kita kepada sesama. Pada hari kemenangan ini menjadi contoh, bahwa tidak seorang pun yang kelaparan dan sedih karena kekurangan harta benda. Semua gembira, semua menang dan semu umat manusia dalam keadaan cukup. Sehingga pada hari-hari berikut mencontoh pada kondisi dan situasa yang tergambar pada Hari Raya Fitri ini. Kondisi bangsa kita yang masih timpang dan senjang perlu segerara memaknai dan memulai dari hari kemenangan ini. Sebab menurut H.S Dillon, seandainya harta koruptor dan sepuluh persen orang-orang terkaya di Indonesia mau membagi dengan kekayaannya tentu sudah mampu mengentaskan kemiskinan dan Indonesia bisa segera keluar dari jeratan IMF.
Zakat fitrah adalah sarana untuk membangun cinta kasih. Cinta kasih dalam doktrin ajaran agama Islam, bukanlah cinta kasih dalam artian sempit yang hanya terbatas pada kerabat dekat, ras, suku, golongan atau kelompok tertentu, tetapi cinta kasih dalam Islam bersifat universal (menyeluruh) mencakup semua makhluk ciptaan Allah, tanpa harus ada sekat-sekat atau dinding pemisah apapun namanya. Nabi Muhammad saw bersabda:
لن تؤمنوا حتّى ترحموا قالوا يا رسول الله كلّنا رحيم قال إنه ليس برحمة أحدكم ولكنها رحمة العامّة.(رواه البخاري)
Artinya: “Tidak sempurna iman kalian sehingga kalian menyayangi . para sahabat berkata: Yarasulullah kami semua sudah saling menyayangi. Nabi saw bersabda: Bahwa sayang yang dimaksud bukan sayang sekedar sayang kepada salah seorang diantara kamu, tetapi sayang (yang dimaksud) ialah sayang yang bersifat universal. (HR. Bukhori).

Allahu akbar 3X Walillahi al hamdu
Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Pada hari kemenangan kita dalam mengikat hawa nafsu untuk mencapai ketaqwaan melalui ibadah puasa sebulan penuh, menahan lapar, haus dan hubungan seksual disiang hari, maka pada hari kemenangan ini, marilah, kita tunjukkan indikator keberhasilan kita dalam meraih ketakwaan, kita tunjukkan kesejatian diri kita yang “fitri” yang senantiasa menebarkan cinta kasih, persaudaraan, kebersamaan, kemampuan menahan amarah, dan mampu memaafkan orang lain. Fitrah yang sesungguhnya adalah ketika taqwanya bertambah, berarti peran serta kemanusiaan meningkat, amal salehnya meningkat dan semakin menjauhkan diri dari perilkau-perilaku maksiat. Jadi kembali kefitrah berarti kembali mendengarkan suara hati yang sudah kita jernihkan dengan berpuasa dan Zero mind Prosess (ZMP). Bersikap fitrah adalah berorientasi pada pemenangan “ruh ilahi” atas tanah “Lumpur”. Semoga Allah SWT menuntun dan membimbing kita untuk selalu menjaga jiwa kita agar tetap bertaqwa dan berjalan pada fitrahnya. Amin.

جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين وادخلنا وايّاكم في زمرة عباده المتقين. قال تعالى في القرآن العظيم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم . يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملواالعدّة ولتكبّر واالله على ما هداكم ولعلّكم تشكرون.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وايّاكم بمافيه من الذكر الحكيم. وتقبل منّي ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم. وقل ربّ اغفر وارحم وانت خير الراحمين.







الخطبة الثانية لعيد الفطر
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا لا إله إلاّالله وحده صدق وعده ونصر عبده وأعزّ جنده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلاّالله ولا نعبد إلاّ إيّاه مخلصين له الدين ولوكره المشركون ولوكره الكافرون ولوكره المنافقون. الحمد لله حمدا كثيرا كما امر. واشهد أن لاإله إلاّ الله وحده لاشريك له ارغاما لمن جحد به وكفر. واشهد أن سيّدنا محمدا عبده ورسوله سيد الخلائق والبشر. صلّى الله عليه وعلى آله وأصحابه مصابيح الغُرر. أما بعد: فيآأيهاالحاضرون. أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون. وافعلواالخير واجتنبوآ عن السّيّأت. واعلموآ أن الله أمركم بأمر بدأ فيه بنفسه وثنّابملآئكة المسبّحة بقدسه. فقال تعالى في كتابه الكريم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. بسم الله الرحمن الرحيم. إن الله وملآئكته يصلّون على النبي يآأيهاالذين آمنوآ صلّوآ عليه وسلّموا تسليما. فأجيبوآالله الى مادعاكم وصلّوآ وسلّموأ على من به هداكم. اللهمّ صلّ على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه أجمعين. وعلى التابعين وتابعي التابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. وارض الله عنّا وعنهم برحمتك ياأرحم الراحمين. اللهمّ اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحيآء منهم والأموات إنّك سميع قريب مجيب الدعوات. اللهمّ انصرأمة سيّدنا محمّد. اللهمّ اصلح أمة سيّدنا محمّد. اللهمّ أمة سيّدنا محمد. اللهمّ انصر من نصر الدين. واخذل من خذل الدّين. واجعل بلدتنا إندونيسيّا هذه بلدة تجري فيها أحكامك وسنّة رسولك يا حيّ يا قيّوم. ياالهنا واله كل شيئ. هذا حالنا ياالله لايخفى عليك. اللهمّ ادفع عنّا الغلآء والبلآء والوبآء والفحشآء والمنكر والبغي والسيوف المختلفة والشدآئد والمحن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا هذا خاصّة ومن بلدان المسلمين عامّة يا ربّ العالمين. اللهمّ أعزّ الإسلام والمسلمين وأهلك الكفرة والمبتدعة والرافضة والمشركين ودمّر أعداء الدين. واجعل اللهمّ ولايتنا فيمن خافك واتّقاك. ربّنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلاّ للذين آمنوا ربّنا انك رؤف رحيم. ربّنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار والحمد لله ربّ العالمين.

PLURALISME SOSIOLOGI YES, PLURALISME TEOLOGI NO

PLURALISME SOSIOLOGI YES, PLURALISME TEOLOGI NO
Oleh. Cholil Nafis, MA


Kemajemukan (pluralitas) adalah sunnatullah yang tidak mungkin dapat dielakkan oleh manusia. Diciptakannya manusia dari berbagai suku-bangsa, dengan berbagai ragam ras dan warna kulitnya, mengandung hikmah yang sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dengan keragaman suku dan bangsa diharapkan manusia dapat saling mengenal dan saling membutuhkan. Sungguh pun manusia terdiri dari berbagai suku dan bangsa, berbicara dengan berbagai bahasa, warna kulit yang berbeda-beda, mereka semua pada hakikatnya berasal dari sumber yang satu, jiwa yang satu (nafs wâhidah). Inilah salah satu bentuk dari toleransi Islam terhadap pemeluk agama lain dalam hal muamalat. Adapun dalam ranah aqidah, ibadah dan ritual-ritual suci, Islam telah mempunyai batasan yang sangat jelas. (QS. Al-Kâfirûn [109]: 2-6)
Hadist Nabi saw juga menjelaskan secara gamblang akan ide persamaan antarsesama manusia tanpa membedakan suku bangsanya. Dalam khothbahnya ketika melaksanakan haji wada’ (perpisahan) Rasulullah saw menegaskan ide persamaan ini. Beliau bersabda, “Orang Arab tidak lebih baik dari pada orang non Arab ('ajami), dan orang non Arab tidak lebih baik dari pada orang Arab, kecuali karena ketakwaannya.” Sikap tegas dan bijaksana juga ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab terhadap anak gubernur Mesir yang berbuat kasar terhadap salah seorang warga Mesir. Khalifah berkata, “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka sebagai manusia yang merdeka?”
Pada saat awal mula memimpin Madinah, Rasulullah saw menjumpai kota ini sebagai kota plural yang dihuni oleh masyarakat yang sangat heterogen, baik ditinjau dari sisi keragaman kabilah, bani-bani, ataupun keyakinan beragama. Di sana ada masyarakat urban (kaum Muhajirin), penduduk asli Madinah (kaum Anshor) yang terdiri dari kabilah Aus dan Khajraj, kaum Yahudi yang terdiri dari tiga bani, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa’, dan Bani Nadhir. Selain itu, di sana juga ada kaum Musyrik penyembah berhala.
Karena melihat kondisi masyarakat yang sangat plural dan heterogen inilah, maka Rasulullah saw mengayomi kepentingan semua kelompok, karena di samping sebagai nabi kaum Muslimin beliau juga seorang pemimpin negara yang juga dihuni oleh orang non Muslim. Bentuk pengayoman ini oleh Rasulullah saw dituangkan dalam sebuah qanun (undang-undang) yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (al-Shahîfah). Beliau memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi semua golongan dalam masyarakat, baik yang Muslim maupun non Muslim.
Dalam Pasal 20, Piagam Madinah menyebut kata “musyrik” . Penyebutan kata “musyrik” dalam Piagam ini mengandung arti bahwa Rasulullah saw mengakui kaum musyrik sebagai sebuah entitas dan bagian dalam masyarakat Madinah yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan entitas lain. Di sini kita dapat melihat bahwa posisi beliau sebagai seorang rasul yang mengemban misi tauhid, tidak menjadi penghalang untuk berbuat adil terhadap golongan lain yang tidak mengimani misi tauhid beliau.
Dasar tauhid yang ditegakkan Rasulullah saw tetap menjamin hak hidup pemeluk agama lain, termasuk orang musyrik sekalipun. Di sini, nampaknya kita perlu membedakan antara dasar monoteisme dengan “kebebasan beragama”. Oleh karena itu, di dalam negara yang menganut paham resmi monoteistis, mungkin saja ada warga yang menganut paham poleteistis. Yang patut diingat, Islam mengkampanyekan semangat toleransi bukan karena pengaruh unsur dari luar Islam, atau karena tekanan dunia luar yang memaksakan toleransi, tetapi karena toleransi itu adalah berasal dari esensi ajaran Islam sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 256)

Isyarat-isyarat Al-Quran tentang Pluralitas
Semakin dalam kita memahami kandungan Al-Quran, maka semakin besar kesadaran kita akan adanya pluralitas dalam kehidupan. Bahkan kita akan mendapati bahwa Al-Quran sendiri adalah sumber pluralitas. Gaya bahasa Al-Quran yang penuh dengan metafor dan simbol menyimpan makna yang sangat beragam. Setiap kata dan ayat di dalam Al-Quran menyimpan berbagai bentuk penafsiran. Di samping itu, kandungan ayat kauniyahnya mampu menyesuaikan diri dengan perjalanan masa dan teori ilmu-ilmu modern yang dinamis. Artinya, makna dan tafsir Al-Quran (bukan teks Al-Quran) senantiasa berkembang sesuai dengan langkah zaman. Banyaknya ragam penafsiran Al-Quran inilah kemudian yang mendongkrak banyaknya kitab-kitab tafsir yang ditulis para ulama salaf. Andaikata para ulama itu hidup di masa sekarang, niscaya mereka pasti akan melahirkan kitab-kitab tafsir yang tak terhitung jumlahnya, yang membahas teori-teori ilmiah modern.
Al-Quran menyuruh manusia menghayati bumi tempatnya berpijak. Bumi ini adalah salah satu dari berjuta-juta planet dan bintang, yang besar maupun yang kecil, yang berada di dalam sistem tata surya. Jarak antara planet atau bintang yang satu dengan yang lainnya bisa mencapai ratusan tahun cahaya.
Di dalam bumi tempat manusia berpijak terdapat banyak sungai dan lautan; gunung dan lembah. Terdapat beragam serangga, burung, dan tumbuhan. Hal yang sama juga terjadi pada manusia. Manusia berasal dari beragam bangsa, warna kulit, bahasa, agama, dan keyakinan. Manusia bukanlah sebuah entitas tunggal yang serba homogen!!
Al-Quran mengatakan bahwa manusia tidak dapat dijadikan sebagai umat yang tunggal, karena Allah SWT tidak berkehendak menjadikan manusia sebagai umat yang satu, agar Allah mengetahui siapa-siapa di antara mereka yang paling baik. (QS. Al-Ma’idah [5]: 8)
Allah menciptakan perbedaan bagi setiap umat. Di antara perbedaan itu terletak pada syariat. Banyak sekali kata “perbedaan” yang disebutkan dalam Al-Quran seperti ikhtalafa, ikhtalaftum, ikhtalafû, takhtalifûn, khilâf, ikhtilâf, dan mukhtalif. Semua kata yang mengandung makna “perbedaan” ini mencakup konteks yang sangat luas. Konteksnya bisa menyangkut masalah akidah, agama, ras, etnis, bangsa, bahasa dan lain sebagainya. Dengan demikian, kata-kata tersebut menegaskan akan adanya pluralitas dalam kehidupan.
Al-Quran memang mengatakan bahwa kaum Muslimin adalah umat yang satu. Namun kesatuan ini berada dalam ranah akidah. Di samping itu, kesatuan ini tidaklah menafikan bahwa kaum Muslimin berasal dari beragam suku bangsa, kabilah, marga, warna kulit, dan bahasa. (QS. Yâsin [36]: 36. QS. Fâthir [35]: 11. QS. Al-Dzariyat [51]: 49. QS. Al-An`âm [6]: 165. QS. Al-Zukhruf [43]: 32. QS. Al-Baqarah [2]: 256. QS. Yûnus [10]: 108. QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Kenyataan adanya pluralitas tidak hanya dinyatakan dalam Al-Quran, tetapi juga dinyatakan dalam hadits. Rasulullah saw membuka peluang yang sangat besar bagi lahirnya perbedaan pendapat. Misalnya, ketika memberikan motivasi kepada para sahabat Rasulullah saw mengatakan bahwa seorang mujtahid yang melahirkan pendapat yang benar, maka ia mendapatkan dua pahala atas ijtihadnya tersebut. Namun, jika ia melahirkan pendapat yang salah, maka ia tetap mendapatkan pahala atas jerih payahnya tersebut.

Pluralisme Sosiologi Yes
Seringkali perbedaan agama menciptakan kesenjangan antarpemeluk agama. Untuk meminimalisasi kesenjangan tersebut, belakangan muncul gagasan untuk melakukan pendekatan antaragama. Dalam kaitannya dengan upaya pendekatan ini, umat Islam terbagi dalam dua kelompok yang mempunyai pandangan berbeda.
Yang pertama menggagas untuk mencari nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Kelompok ini mengatakan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama. Semua agama mengakui keadilan, kasih sayang, kejujuran, atau solidaritas sebagai nilai yang baik. Semua agama mengakui bahwa mencuri, merampas hak orang lain, memfintah, berbohong sebagai perbuatan tercela. Akhirnya kelompok ini meyakini semua agama benar. Karenanya perlu bertikai. Dengan pendapat ini, kelompok ini bisa menyatukan para pemeluk agama dalam suasana damai. Namun secara tidak sadar, kelompok ini sesungguhnya telah mengaburkan nilai kebenaran Islam yang mereka yakini. Mereka telah mencampur semua agama bagaikan adunan Juss buah yang menghilanglakan rasa masing-masing buah yang diblender oleh mesin blender. Mungkin pahan inilah yang selalu didengungkan oleh pengagum pluralisme.
Yang kedua mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan pandangan pertama. Kelompok ini meyakini agamanya sebagai yang paling benar. Karenanya mereka dengan penuh semangat mengkampanyekan agamanya kepada pemeluk agama lain. Saking bersemangatnya, kelompok ini melakukan tindakan yang kontra produktif terhadap semangat persatuan kebangsaanberbangsa dan bernegara. Terkadang mereka kurang mengindahkan perasaan pemeluk agama lain atas nama seruan suci agamanya yang akan berbuah surga. Jika semua umat Islam melakukan hal ini terhadap umat beragama lain, berarti negara menyimpan “bara dalam sekam” yang suatu saat bisa berubah menjadi api besar yang membakar negara dan bangsa ini.
Kedua kelompok di atas mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk itu diperlukan sebuah formulasi baru yang bisa menjembatani keduanya. Jembatan itu adalah dialog (hiwâr) antar umat beragama. Dengan dialog, kesenjangan umat Islam dengan pemeluk agam lain akan teratasi, sementara umat Islam tidak harus kehilangan keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri atas nama “universalitas” dan “substansi” agama yang bisa mengaburkan kebenaran Islam. Jalan tengah (moderat) dan yang bisa ditawarkan oleh penulis bahwa pluralisme merupakan hal yang niscaya dan harus menjadi pegangan jika pluralismen dalam konotasi sosiologis. Artinya, kesadara umat manusia tentang keragaman, perbedaan natural, berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. Akan tetapi, pluralisme dalam konotasi teologi (tauhid) umat muslim bahkan seluruh umat beragama harus menolak (mengharamkan)-nya.
Doa bersamaan masing-masing umat beragama kepada Tuhan mereka secara bersamaan telah bertentangan dengan kesakralan agama, tetapi doa bersama dalam suatu acara kepada Tuhan mereka masing-masing, baik secara bergantian dan bersamaan adalah sesuai dengan undang-undang Dasar 1945 tentang kehidupan umat beragama
Keyakinan umat beragama tidak boleh dilebur dalam satu wadah yang menghilangkan warna aslinya seperti juss buah, tetapi boleh hidup dalam satu wadah tanpa menghilangkan identitas masing-masing seperti rujak buah yang dihidangan dalam satu piring. Prinsipnya, pluralisme “rujak buah” yes, pluralisme “juss buah” no Pluralisme sosiolog i yes, pluralisme teologi no….

PARADIGMA KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA

PARADIGMA KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA
Oleh: HM. Cholil Nafis, Lc., MA
(Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU)


Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dri beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama, seperti kasus Poso, Ambon dan yang terakhir kasus bernuansa agama di Jawa Barat. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hamper pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebaiknya berkaca kepada sejarah yang pernah terjadi dalam dunia Islam, yaitu di Madinah. Dengan pimpinan Rasulullah saw mendirikan negara yang pertama kali dengan penduduk yang majemuk, baik suka dan agama, suku Quraisy dan suku-suku Arab Islam yang datang dari wilayah-wilayah lain, suku-suku Arab Islam penduduk asli Madinah, suku-suku Yahudi penduduk Madinah, Baynuqa’, Bani Nadlir dan suku Arab yang belum menerima Islam. Sebagai landasan dari negara baru itu Rasulullah saw memproklamasikan peratururan yang kemudian lebih dikeninal dengan nama Shahifah dan Piagam Madinah. Menurut para ilmuwan muslim dan non muslim dinyatakan bahwa Piagam Madinah itu merupakan konstitusi pertama negara Islam.
Para sejarawan tentang Islam menyebutkan bahwa pengalaman Madinah (tajrubah al madinah) merupakan kondisi dan peristiwa historis yang paling ideal dalam Islam sepanjang sejarah. Muhammad Arkoun, pemikir posmodernis dari Aljazair, berpendapat bahwa pengalaman Madinah (tajrubah al madinah) tak mungkin bisa ditiru oleh generasi mana pun sesudah Nabi Muhammad saw. Dalam bidang politik, Robert N. Bellah menyimpulkan bahwa tajrubah al madinah meru pakan prototype system demokrasi modern dalam Islam.
Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu Rasulullah saw telah meletakkan batu-batu dasar sebagai landasan kehidupan umat beragama dalam negara yang plural dan majemuk, baik suku maupun agama dengan memasukkan secara khusus dalam Piagam Madinah sebuah pasal spesifiik tentang toleransi. Secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 25: “Bagi kaum Yahudi (termasuk pemeluk agama lain selain Yahudi) bebas memeluk agama mereka, dan bagi orang Islam bebas pula memeluk agama mereke. Kebebasan ini berlaku pada pengikut-pengikut atau sekutu-sekutu mereka dan diri mereka sendiri” (lil yahudi dinuhum, wa lil muslimina dinuhum, mawaalihim wa anfusuhum).
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitAs lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan: 1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama; dan 2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
Lahirnya Piagam Madinah oleh beberapa ahli tentang Islam, seperti dikatakan oleh sejarawan Barat, Wiliam Montgomery Watt sebagai loncatan sejarah (historical jum) yang luar biasa dalam perjanjian multilateral. Selain sifatnya yang inklusif, Piagam Madinah berhasil mengakhiri kesalahpahaman antara pemeluk agama selain Islam dengan jaminan keamanan yang dilindungi konstitusi Negara.
Semangat persamaan dan persaudaraan tanpa melihat suku dan agama dalam Piagam Madinah itu tidak lepas dari bimbingan wahyu Allah SWT, di mana Rasulullah saw tidak akan perkata sesuatu dari kehendak nafsunya kecuali merupan wahyu Allah SWT. Piagam Madinah senafas dengan inti ajaran paradigman kehidupan umat beragama yang termaktub dalam al Qur’an al Karim, yakni tidak ada paksaan untuk menganut suatu agama (al Baqarah: 256), larangan kepada Rasulullah saw untuk memaksa orang menerima Islam (Yunus:99) dan bahwa tiada larangan bagi umat Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan saling tolong menolong dengan orang-orang bukan Islam yang tidak memerangi umat Islam karena agama dan tidak mengusir meraka dari kampung halaman atau negeri mereka (al Mumtahanah: 8 – 9), bahwa Islam mengakui pluratas agama bukan pluralitame agama (al Kafirun: 1- 6).
Kalau sebab turunnya (asbab al nuzul) ayat dala surat al Kafirun dikaji secara seksama, ayat ini merupakan penolakan Nabi Muhammad saw secara diplomatis dan etis atas propaganda agama lain. Ketika Nabi Muhammad saw ditawari untuk saling tukar agama, Nabi saw menangapinya dengan arif dan bijaksana, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Tidak konfrontatif, apalagi destruktif sehingga orang yang mengajaknya pun malah segan.
Toleransi Nabi Muhammad saw yang demikian tinggi ini menjiwai atas pelbagai tindakan dan kebijakan lainnya, termasuk ketika perang. Pernah suatu ketika, Nabi Muhammad saw mengutus Usamah Ibn Zaid untuk memimpin ekspedisi peperangan. Sebelum Usamah berangkat Nabi saw berpesan agar pasukan kavaleri dan infanteri yang dipimpinnya tidak melakukan perusakan terhadap tumbuh-tumbuhan, tidak membunuh anak-anak, ibu-ibu, serta tidak merusak rumah ibadah umat agama lain, baik gereja, sinagong maupun kuil.
Katika tajrubah al madinah menjadi pola dasar dalam membina kerukunan umat beragama di Indonesia, di mana penduduk negeri ini terbesar di dunia, mayoritas beragama Islam, sangat heterogen dan majemuk, terdiri dari beberapa suku, etnis, golongan dan agama, disamping menjadi unsur kekayaan rohaniah yang dapat memperkokoh kehidupan nasional, juga akan menjadi ancaman dan potensi konflik yang berdampak sangat luas.
Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama. Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Pluralitas bangsa kita telah disadari benar-benar oleh para pendiri Negara Republik Indonesia betapa pentinya menetapkan pendirian tentang hubungan antara agama, umat beragama dan negara. Bahwa negara yang hendak dibentuk adalah bukan negara agama dan bukan anti agama, tetapi negara kita adalah Negara yang nitral terhadap agama-agama dan menganggap pentingg keterlibatan agama-agama dalam meraih kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Seluruh pemeluk agama yang ada di Indonesia terlibat dalam merebut kemerdekaan secara proporsional tentu dalam mengisi kemerdekaan pun semuanya berhak berdasarkan profesionalisme dan proporsional.
Lima sila Pancasila dapat kita pandang sebagai rumusan terintegrasi antara jiwa religiositas yang dikandung agama-agama dengan wawasan kebangsaan. Misalnya pada sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa, memastikan bahwa bangsa kita adalah umat beragama bukan sekuler, dan Negara kita juga bukan negara berdasarkan agama, tetapi masayarakat beragama dapat menafsirkannya sila pertama itu sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Negara kita menempatkan diri sebagai fasilitator terhadap umat beragama dan sebagai pemersatu.
Meskipun Indonesia kaya secara filosofis dan peraturan tentang bagaimana membangun kerukunan umat beragama, kita perlu menyimak apa yang disampaikan oleh Profesor Dr. Muhammad Nur Manuty bahwa interaksi antara masyarakat Islamdan non Islam perlu diberikan perhatian lebih serius, mengingat demografi penduduk dunia akan terus berubah. Hal itu menjadi bertambah penting dalam konteks masyarakat yang majemuk (Kompas, 27/8/1996). Perubahan demografi adalah niscaya, karena dia adalah alam yang akan berubah, cepat atau lambat. Namun pendapat ini perlu dirumuskan: Perhatian serius itu bagaimana? Apakah dibentuk forum, lembaga atau apalah namanya.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
Suatu sifat dalam dialog, di mana seseorang melihat lawan dialognya dengan hati lapang dan penuh pernghargaan (‘ain al ridla), bukan sebaliknya, melihat lawan dialognya sebagai musuh dan penuh kebencian (‘ain al sukhth). Sikap dasar moral harus tetap dipertahankan dalam hubungan dialog horizontal. Oleh karena itu tidak seharusnya manafikan eksistensi orang lain.
Sering terjadi dialog yang hanya bersifat semu, karena tidak mengakui eksistensi dan sifat dasar manusia itu. Manurut Martin Buber, eksistensi manusia pada dasarnya sama. Kesamaannya terdapat pada proses dialektisnya yang selalu mendambakan kesempurnaan eksistensi. Ia senantia berproses menuju pengakuan bahwa dirinya adalah eksistensi. Yang dimaksud eksistensi adalah ada manusia yang diliputi oleh rasa kemanusiaan, rasa budaya, rasa progresif, dan sebagainya.
Dialog vertical berarti pemahaman dan pengkhayatan akan fungsi dan makna keagamaan secara mendalam bukan fanatisme buta dalam beragama karena kebodohannya. Dalam konteks kemasyarakatan kita, banyak yang mempertentangkan suatu agama dengan agama lain, bahkan antar sesama pemeluk agama tertentu. Namun serta merta para tokoh agama mengingatkan betapa pentingnya penghayatan keagamaan dan untuk memperluas cakrawala dialog vertical.
Unsur penting dalam dialog vertikal adalah mempedulikan materi keagamaan secara intern. Artinya, kita mesti terus berlajar mendalami secara objektif makna agama kita. Pada posisi puncak sebenarnya adalah pengejewantahan diri kita untuk mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan inilah yang disebut dengan dialog vertical. Oleh karena itu, umat beragama tidak layak mempertentangkan dan menghancurkan entitas orang lain dengan mengatasnamakan agama.
Islam menggariskan ajarannya kepada domain qath’iy (pasti) dan dzanny (tidak pasti). Dua domain inilah yang menjadi pijakan umat Islam dalam memahami agamanya. Domain qoth’iy adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa ditawar untuk ditakwil. Artinya, ruang ijtihad dan kreatifitas berpikir bagi umat muslim untuk mengambil makna tersirat telah ditutup. Sebaliknya domain dzanny, umat Islam diperintah untuk mengembangkan ijtihad dan kreatifitas berpikirnya guna menemukan makna tersirat dalam ajaran agama demi memenuhi tuntutan perubahan zaman dan demografi.
Berdasarkan domain qath’iy dan dzanny umat beragama perlu menyikapi umat beragama selain Islam dengan tegas dalam kontek umat beragama dan bijak dalam kontek kebangsaan. Tegas artinya menyampaikan perbedaan keyakinaan dan keagamaan antara umat beragama, agamamu adalah aagamamu dan agamaku adalah agamaku. Tegas artinya harus mempertimbangkan asas kebangsaan, kemanusiaan, dan persaudaraan sebangsa dan se tanah air dalam rangka mengisi kemerdekaan. Semoga kita selalu mampu menjaga persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan seiman (ukhuwah diniyah).Amin