LANGKAH MEMBERANTAS KORUPSI
Oleh: H.M.Cholil Nafis, M.A.
Di media massa, baik elektronik maupun cetak setiap hari tiada sempurta tanpa berita korupsi. Korupsi dan korupsi selalu disuguhkan oleh media. Hebatnya, para wartawan sangat jeli dan lihai dalam memperoleh berita terbaru tentang korupsi. Memang, hampir seluruh departemen dan level di Indonesia tercinta ini dililit oleh penyakit korupsi. Kalau masa Orde Baru kita hanya memperoleh berita bahwa Negara Indonesia terkorup di Asia dan peringkat ketiga di dunia tanpa tahu perinciannya, maka di era reformasi ini memaparkan sarang-sarang korupsi dan pemerataan distribusi peluang korupsi di setiap lapisan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, departemen mana yang tidak diberitakan bahwa di dalamnya terdapat kejahatan korupsi. Dulu sering diberitakan adanya korupsi di dunia perbankan dan di kalangan ekskutif tertentu, namun di era reformasi yang telah berjalan tujuh tahun ini makin sempurna berita tentang korupsi. Sekarang kita lihat pemberitaan media massa tentang sejumlah anggota dewan daerah yang masuk penjara karena kasus korupsi, berapa gubernur dan Bupati/Wali kota yang diperiksa dan masuk penjara karena korupsi, berapa banyak tokoh masyarakat yang diperiksa dan masuk penjara karena korupsi, berapa banyak akademisi yang diperiksa dan masuk penjara karena korupsi, penegak hukum, advokat dan lembaga peradilan sedang dirundung kasus korupsi. Bahkan yang paling mengejutkan bagi kita umat Islam adalah mantan Menteri Agama, akdemisi dan kyai diperiksa dan ditahan karena tersangka korupsi, termasuk Dirjen yang mengurusi orang-orang muslim menunaikan ibadah haji ditahan dan diperiksan karena tersangka menyelewengkan hasil laba pengelolaan haji yang lebih dikenal Dana Abadi Umat (DAU).
Ironi memang, penduduk negara Indonesia yang meyoritas memeluk agama Islam dan terbesar diseluruh dunia, bahkan jumlah penduduk muslim Indonesi lebih besar dari pada seluruh penduduk negeri Arab. Tetapi korupsi juga tetap tumbuh subur di dalamnya. Menurut laporan Transparency Internasional (TI) menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara nomor 6 terkorup di dunia (Republikan 24/10/2005). Lantas, di mana peran keberagaam kita? Sulit memang menjawab pertanyaan yang sederhana ini. Sesuatu yang niscaya bagi Indonesia untuk melibatkan komunitas muslim dalam setiap peristiwa yang terjadi di dalam negeri, misalnya kejahatan korupsi karena memang mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Perlu dibedakan antara ajaran Islam dengan komunitas muslim, karena nilai ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin sering mengalami distorsi oleh pemahaman dan prilaku muslim sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh pemikir moderat asal Mesir, Muhammad Abduh “ Islam sering terdistorsi oleh umat muslim sendiri” (al islam mahjubun bilmuslimin).
Fiqh Melihat Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Inggris corruption yang berasal dari akar kata corrupt yang berar ti jahat, buruk dan rusak.(John M. Echols dan Hassan Shadily, 1989, 149) Secara istilah korupsi adalah perbuatan buruk dan tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya dengan tujuan untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Karena akibatnya merugikan orang lain itu, maka korupsi digolongkan sebagai tindak pidana. (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990, 85). Dalam prakteknya, korupsi lebih sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Sebagai balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah berupa kelonggaran atauran yang semestinya diterapkan secara ketat dan pembengkakan alokasi anggaran.
Berdasarkan definisi di atas, fiqh (yurisprudensi) Islam mengkatagorikan, bahwa karupsi merupakan salah satu kejahatan (jarimah) terhadap amanah. Korupsi identik dengan risywah (suap) dan at tajawwuz fi isti’mal al haq (menyalahgunakan wewenang). Jika korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi disebut pencurian (sariqah), jika dilakukan secara terang-terang dan transparan disebutk perampokan (nahb). Baik dilakukannya secara individu (fardi) maupun secara kolektif (jama’ah).
Sanksi yang layak dijatuhkan kepada koruptor tentunya dapat diukur dari efek kejahatan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Islam dalam memberi hukuman bagi setiap kejahatan dapat dilihat dari perspektif vertikal (hablun minallah) dan perspektif khorizontal (hablun minannas). Jika kejahatan hanya mengandung aspek vertical, maka seseorang cukup meminta ampun kepada Sang Kholiq dan menjalankan perintahnya. Tetapi jika kejahatan yang diperbuat menyentuh hak orang lain, maka sanksinya tergantung kepada dampak sosial yang ditimbulkan, bisa berupa hudud seperti sanksi yang dijatuhkan kepada pencuri, bisa juga dengan ta’zir (sesuai dengan hukum yang berlaku) yang bentuknya bisa lebih berat atau lebih ringan sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan mengandung aspek jera bagi pelakunya.
Cara efektif mengukur dampak sosial dari perbuatan jarimah (kejahatan) adalah dengan barometer tujuan syari’ah (maqashid al syari’ah) yang meliputi 5 induk; yaitu, 1) perlindungan hidup dan keselamatan jiwa dan raga (hifdz al nafs), 2) perlindungan hak meyakini dan menjalankan agamanya (hifdz al din), 3) perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan akal-budi (hifdz al ‘aql), 4) Perlindungan hak atas harta atau kekayaan yang diperoleh secara sah (hifdz al mal), 5) Perlindungan atas kehormatan dan hak keturunan (hifdz al ‘irdl wa al nasl). Perlindungan dan jaminan hak ini juga berlaku bagi non muslim yang sepakat untuk hidup bersma sebagai satu umat/bangsa.
Dalam tindakan korupsi sedikitnya terdapat tiga kejahatan. Pertama, kejahatan yang berdampak pada hilangnya keuangan negara, sehingga tindakan korupsi yang akut berakibat hilangnya hajat hidup orang banyak, memperlebar jurang kesenjangan dan menghilangkan keadilan. Kedua, kejahatan korupsi dapat menghilangkan hak hidup warga negara dan regulasi keuangan negara. Negara yang korup telah melahirkan kemiskinan, kebodohan dan kehidupan. Ketiga, kejahatan korupsi menggerogoti kehormatan dan keselamata generasi penerus. Akibat kejahatan korupsi Negara menjadi tidak terhormat di mata dunia internasional dan generasi penerus sulit bersaing dan hidup sederajat dengan bangsa-bangsa lain lantaran kehormatannya telah tercoreng.
Berdasarkan dampak tersebut, sebenarnya kejahatan korupsi dalam dampak sosialnya telah menghilngkan tiga tujuan syari’ah, yaitu melindungi jiwa, harta dan kehormatan. Sanksi yang layak dijatuhkan kepada para koruptor yang telah merampas keuangan negera, menghilangkan hajat orang banyak dan merendahkan derajat bangsa haruslah setimpal dengan perbuatannya. Jika kejahatannya tidak terlalu besar maka sanksi ta’zir yang dapat menimbulkan rasa jera bagi pelaku bisa diterapkan. Tetapi kejahatan korupsi yang akut, mungkin terulang kembali dan telah merenggut kehidupan dan hajat orang banyak, mestinya hudud dan hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelakuk korupsi.
Pemerintah memerangi korupsi.
Realisasi konsep agama memerlukan Negara/pemerintah. Karena Negara berkewajiban melindungingi keamanan rakyat, menegakkan keadilan dan memelihara kemaslahatan umum. Seperti halnya kewajiban pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi guna menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial dan ekonomi.
Setahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhouono dan Jusuf Kalla telah tertanan niat baik (good will) untuk memerangi korupsi. Hal ini bisa dilihat dari materi kampanyenya pada saat pencalonan tahun 2004 yang mengangka isu pemberantasa korupsi sebagai program utama dan dipimpin langsung oleh Presiden. Pada saat terpilih menjadi presiden, Yudhoyono merealisasikan janjinya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No. 5/2004).
Inpres tersebut belum tampak hasilnya, Presiden melangkah lebih agresif dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. II/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi (TIM Tastipikor). Komisi Pemberantasan lebih leluasa menjalankan tugasnya untuk menyidik dan memeriksa kasus besar dan mengandung terapi kejut (shock therapy)
Gerakan Pemerinkan untuk memberantas korupsi sepenuhnya direspon positif oleh publik. Buktinya, Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdltul Ulama dan Muhammadiyah bekerjasama untuk melakukan Gerakan Anti Korupsi yang terus berlangsung sampai saat. Sayang, niat baik Pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menunjukkan hasil yang signifikan. Praktek korupsi masih terus berlangsung, 465 kasus korupsi yang telah dituntaskan oleh Jaksa Agung belum menyentuh kasus korupsi yang akut.
Mungkin factor penghambat gerakan pemberantasan sehingga berjalan lambat karena masyarakat kita lebih senang serimonial daripada kerja nyata, korupsi sudah menjadi budaya birokrasi dan masyarakat Indonesia, tidak merasa zalim dan berdosa dalam melakukan praktek korupsi, penegak hukum dan lembaga peradilan kita belum bersih sepenuhnya dari praktek korupsi.
Langkah apakah yang efektif memberantas korupsi? Sederhana, mulailah dari diri sendiri, yaitu penegak hukum, lembaga peradilan, dan buatlah sistem pebuktian terbalik secara terbatas. Artinya, kekayaan tidak wajar yang dimiliki oleh penyelenggara negera, penegak hukum dan masyarakat harus melaporkan asal usulnya. Dan, jika asal usul kekayaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka kekayaan tersebut dapat diambil pemerintah dan pemiliknya diproses secara hukum.
Senin, 15 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar