PERAN BADAN WAKAF INDONESIA DALAM RUISLAG TANAH WAKAF
Oleh
M. Cholil Nafis, Ph D
Wakaf sebagaimana maknanya berhenti. Yaitu berhenti dari kepemilikan diri sendiri berpindah kepada pemilik jagat raya, Allah SWT. Maka harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Prinsip Wakaf adalah keabadian (ta’bidul ashli), dan prinsip kemanfaatan (tasbilul manfaah). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw ketika memberikan arahan kepada Umar bin Khathab ra, yang ingin menyerahkan sebidang tanahnya di Khaibar untuk kepentingan sabilillah, beliau bersabda : “Tahanlah barang pokoknya dan sedekahkan hasilnya (Ahbis ashlaha, wasabbil tsamrataha) “.
Wakaf selain merupakan ibadah kepada Allah SWT juga merupakan ibadah sosial, sehingga tidak lepas dari dimensi sosial yang sangat terkait dengan kultur, politik, ekonomi, dan relasi sosial. Persoalan yang timbul akibat dari dimensi sosial adalah tukarguling yang dalam istilah fikih disebut istibdal atau dalam hukum positif disebut ruilslag. Al-Istibdal, diartikan sebagai penjualan barang wakaf untuk dibelikan barang lain sebagai wakaf penggantinya. Ada yang mengartikan, bahwa al-Istibdal adalah mengeluarkan suatu barang dari status wakaf, dan menggantikannya dengan barang lain Al-Ibdal, diartikaan sebagai penggantian barang wakaf dengan barang wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya atau tidak, seperti menukar wakaf yang berupa tanah pertanian dengan barang lain yang berupa tanah untuk bangunan. Ada juga pendapat yang mengartikan sama antara Al-Istibdal dan Al-Ibdal.
Tukarguling wakaf sudah masuk dalam wacana pedebatan ulama madhhab dan masuk dalam buku-buku fikih sejak abad pertengahan. Para ulama berbeda pendapat mengenai tukarguling wakaf. Misalnya Imam Shafi´i tidak memperbolehkan tukarguling wakaf, namun beberapa muridnya membolehkan. Di Indonesia yang realitasnya mengikuti madhhab Syafi´i, sekarang sudah mulai dikombinasikan dengan fikih madhhab lain, dan juga pola pemahamannya lebih rasional. Misalnya, pada abad ke 19 masih terdapat banyak laporan bahwa masjid terpaksa dibiarkan rusak dan hancur akibat masyarakat tidak berani mengubah dan mengganti material masjid tersebut karena khawatir melanggar aturan fikih.
Implikasi Figh lintas madzhab ini dapat dilihat dari Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang memiliki paradigma menekankan pentingnya menjaga manfaat wakaf. yaitu definisi yang secara tegas menyatakan bahwa “wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu...”. Selanjutnya di pasal 4 dan 5 ditegaskan kembali bahwa harta benda wakaf harus dimanfaatkan dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum
Istibdal Wakaf Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2004, Tentang Wakaf, dan PP Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, 14) di tengah-tengah semangat pemberdayaan wakaf secara global, semenjak datang abad ke XV Hijriyah. Di beberapa negara Islam diselenggarakan konferensi, seminar atau lokakarya tentang wakaf, seperti Konferensi Internasional Menteri-menteri Wakaf & Agama (1979) di Jakarta, Nadwah “Muassasah al-Aw-qaf fi al-‘Alam al-Arabi al-Islami“ (1983) di Rabat Maroko, Nadwah “ Idarah wa Tatsmir Mumtalakaat al-Auqaf“ (1984) di Jeddah Arab Saudi, Nadwah “ al-Atsar al-Ijtima’iyah wal Iqtishadiyah lil Waqfi fi al-‘Alam al-Islami al-Mua’shir “ (1992) di Istambul Turkey, Nadwah “ Nahwa Daur Tanmawiy lil Waqfi “ ( 1992 ) di Kuwait , Nadwah “ Ahammiyah al-Awqaf al-Islamiyah fi ‘Alam al-Yaum “ (1996) di Amman Yordan, dan lain-lain.
Pembahasan wakaf dalam forum-forum tersebut terasa sangat kuat kecenderungannya untuk membuka jalan Istibdal wakaf sebagai salah satu cara untuk melestarikan kemanfaatan wakaf, dan untuk menghindari terjadinya keterbengkalaian barang wakaf karena beberapa sebab. Munculnya paradigma yang lebih berkonsentrasi pada prinsip “ pelestarian dan peningkatan manfaat wakaf “ ( tasbil al-tsamrah ), menggeser paradigma yang selama ini lebih berkonsentrasi pada prinsip “penjagaan keabadian barang wakaf“ (habsu al-ashl). Yang menarik dari pembahasan forum-forum tersebut adalah adanya semangat “kompromi antar madzhab” yang selama ini dapat dikatakan belum pernah terjadi. Keputusan-keputusan yang ditetapkan melalui forum-forum tersebut dapat dikatakan sebagai gambaran terjadinya “pluralisme madzhab” dalam kajian fiqih seperti : waqaf mu’aqqat (wakaf temporal), wakaf uang, istibdal al-waqf (penukaran barang wakaf), istitsmar amwal al-waqf (investasi dana wakaf), profesionalisasi na-zhir . Issu-issu wakaf kontemporer tersebut mempengaruhi agenda pertemuan wakaf baik dalam skala nasional maupun internasional, juga dalam penulisan buku-buku per-undangan wakaf serta kajian-kajian ilmiah dan produk-produk akademis, seperti munculnya banyak tesis dan disertasi wakaf . Para narasumber dan perumus UU Nomor 41 Tahun 2004, serta PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang perwakafan di Indonesia juga sudah dipengaruhi oleh arus pemikiran seperti disebut di muka.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini, masalah Istibdal dimasukkan dalam “hukum pengecualian“ (al-hukmu al-istitsna’i) seperti disebut dalam BAB IV Pasal 40 dan 41 ayat (1) . Dalam Pasal 40 dinyatakan :
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. Dijadikan jaminan.
b. Disita .
c. Dihibahkan .
d. Dijual .
e. Diwariskan .
f. Ditukar , atau
g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya .
Dalam Pasal 41 dinyatakan :
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’ah .
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia .
3. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula .
4. Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah .
Dari ketentuan-ketentuan yang tercantum mulai Pasal 40 dan 41 diatas, terlihat adanya sikap kehati-hatian dalam tukar-menukar barang wakaf, dan masih menekankan upaya menjaga keabadian barang wakaf selama keadaannya masih normal-normal saja. Tapi disisi lain juga sudah membuka pintu Istibdal meskipun tidak tasahul ( mempermudah masalah ) . Hal ini lebih jelas lagi dengan melihat aturan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 . Dalam BAB VI , Pasal 49 dinyatakan :
1. Perubahan status harta benda wakaf dengan bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI .
2. Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut ;
a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf , atau
c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.
3. Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , izin pertukaran Harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika :
a. Harta benda penukar memiliki sertfikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan ; dan
b. Nilai dan manfaat harta penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula .
4. Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :
a. Pemerintah daerah kabupaten/kota .
b. Kantor pertanahan kabupaten / kota .
c. Majlis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten /kota .
d. Kantor Departemen Agama kabupaten / kota .
e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan .
Pasal 50 dan 51 PP Nomor 42 tersebut, selanjutnya di dinyatakan :
Pasal 50 : Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b dihitung sebagai berikut :
a. harta benda penukar memiliki Nilai Jual Obyek Pajak (NOJP) sekurang-kurangnya sama dengan NPJP harta benda wakaf , dan
b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan .
Pasal 51 : Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut :
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status / tukat menukar tersebut ;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen (Kementerian) Agama kabupaten / kota .
c. Kepala Kantor Departemen (Kementrian) Agama kabupaten / kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat 4 dan selanjutnya Bupati / Walikota setempat membu-at Surat Keputusan ;
d. Kepala Kantor Departemen (Kementerian) Agama kabupaten / kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian dari tim kepada Kantor Wilayah Departemen (Kementerian) Agama propinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri ;
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan / atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut .
Memperhatikan isi aturan perundangan (UU No. 41 Th. 2004 , dan PP No. 42 Th. 2006) sepintas terasa sangat birokratis dan tidak mudah dilakukan oleh para Nazhir di daerah yang jauh dari akses pelayanan perkantoran, ditambah lagi dengan kemampuan mayoritas Nazhir yang ada di Indonesia sekarang, serta luasnya daerah lokasi harta benda wakaf terutama di daerah pedesaan di luar Jawa, juga mengingat kebutuhan biaya yang harus disediakan untuk tranportasi selama pengurusan surat permohonan tersebut, rasanya perlu dicarikan cara yang lebih mudah, yang lebih murah, dan yang lebih proporsional dengan nilai wakaf yang ditukar gantikan. Tapi semangat ke-hati-hatian seperti yang terasa dalam peraturan perundangan wakaf yang ada itu perlu tetap terjaga.
Kewenangan BWI
Dengan kewenangan yang dimilikinya BWI telah mengeluarkan Peraturan BWI No 1/2008 tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi Penukaran/Perubahan Status Harta Benda Wakaf sebagai berikut:
a. Melakukan pengecekan kelengkapan dokumen-dokumen berikut ini :
1. identitas Nazhir ; Nazhir harus terdaftar di KUA setempat, jika Nazhir belum terdaftar maka dokumen akan dikembalikan dan Nazhir yang bersangkutan harus mengurus administrasi pendaftarannya;
2. AIW/APAIW atau Sertifikat Wakaf: identitas harta benda wakaf yang hendak ditukar atau dirubah statusnya harus terdaftar dan memiliki Akta Ikrar Wakaf (AIW/APAIW) yang sah beserta dokumen-dokumen pendukungnya. Harta Benda Wakaf yang tidak memiliki AIW/APAIW tidak dapat diproses permohonan pertukaran atau perubahan peruntukannya;
3. harta benda penukar harus memiliki dokumen sertifikat atau bukti kepemilikan yang sah sesuai peraturan perundang-undangan.
b. Melakukan pengecekan dokumen proses permohonan penukaran/perubahan harta benda wakaf yang meliputi :
1. surat permohonan perubahan status / tukar menukar ditandatangani oleh Nazhir;
2. surat dukungan/pernyataan persetujuan Wakif;
3. fotokopi KTP Nazhir/Kuasa Nazhir/Mauquf Alaih/Wakif yang menandatangani;
4. rencana kerja Nazhir setelah perubahan status / tukar menukar;
5. surat pernyataan bahwa harta benda wakaf yang lama tidak akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam;
6. rekomendasi Kepala KUA Kecamatan;
7. rekomendasi Kepala Kantor Agama Kabupaten/Kota;
8. rekomendasi Dinas Tata Ruang/Pemukiman kabupaten/Kota ;
9. rekomendasi Bupati/Walikota;
10. rekomendasi Kepala Kantor Agama Provinsi:
11. surat keputusan Bupati/Walikota tentang pembentukan tim penilai keseimbangan perubahan status tukar menukar harta benda wakaf ;
12. berita acara rapat tim penilai harta benda penukar atas harta benda wakaf;
13. Rencana Umum Tata Ruang yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
14. surat permohonan pertimbangan dari Direktorat Jendral Bimas Islam Departemen Agama;
c. Melakukan penilaian perubahan status, mencakup :
1. alasan perubahan status/tukar menukar harta benda wakaf;
2. kondisi harta benda wakaf saat ini;
3. pemanfaatan harta benda wakaf;
4. luas harta benda wakaf;
5. NJOP harta benda wakaf;
6. nilai pasar harta benda wakaf;
7. tujuan wakaf;
8. penilaian produktif harta benda wakaf (termasuk lokasi dan prospeknya, dapat dilakukan kunjungan lapangan jika diperlukan);
9. kondisi harta benda penukar;
10. status kepemilikan harta benda penukar;
11. luas harta benda penukar;
12. NJOP harta benda penukar;
13. nilai pasar harta benda penukar;
14. penilaian produktif harta benda penukar (termasuk lokasi dan prospeknya, dapat dilakukan kunjungan lapangan jika diperlukan).
BWI melakukan wawancara dengan Nazhir/masyarakat dan kunjungan lapangan dan menghimpun informasi-informasi mengenai :
a). latar belakang penukaran/perubahan status harta benda wakaf;
b). asal usul inisiatif penukaran/perubahan;
c). latar belakang hubungan dengan pemilik harta benda penukar;
d). rencana kerja Nazhir;
e). penilaian terhadap kemungkinan pemanfaatan produktif harta benda wakaf dan harta benda penukar;
f). penilaian terhadap kebutuhan-kebutuhan untuk pemanfaatan produktif harta benda wakaf / harta benda penukar;
g). dokumentasi situasi lapangan dalam bentuk foto digital/video;
Dari prosedur penyusunan rekomendasi di atas, jelas bahwa BWI melakukan evaluasi dari berbagai segi, yaitu: (i) administratif, (ii) aspek produktif; dan (iii) aspek legal/fiqh.
• Kelengkapan administratif yang disyaratkan oleh BWI bertujuan untuk mendukung evaluasi pada aspek legal/fiqh dan aspek produktif. Misalnya mengenai alasan penukaran, perlu didukung dengan surat dukungan/pernyataan persetujuan Mauquf Alaih/Wakif. Sehingga alasan yang diajukan bukanlah alasan subyektif dari Nazhir. Alasan tersebut kemudian dievaluasi secara bertahap oleh KUA serta tim yang dibentuk Walikota/Bupati setempat, yang kemudian memberikan surat keterangan/rekomendasi.
Perlu dicatat bahwa tim yang dibentuk Walikota/Bupati adalah khusus dibentuk untuk keperluan pengkajian tukar menukar tanah wakaf tersebut, lengkap dengan nama dan insititusi yang diwakili, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi SK pembentukan tim ini dibuat atas dasar kasus per kasus, dan bukan SK Walikota/Bupati yang generik yang dapat digunakan untuk semua kasus permohonan tukar menukar tanah wakaf di daerah tersebut.
Alasan penukaran ini merupakan kunci utama yang menentukan diperbolehkannya penukaran atau tidak. BWI akan melakukan evaluasi apakah alasan tersebut memenuhi ketentuan perundang-undangan seperti telah dijelaskan di atas. Kelengkapan administrasi yang mendukung aspek ini sangat menjadi perhatian utama dari BWI, bahkan sering kali harus diperkuat dengan wawancara dan peninjauan langsung ke lapangan.
• Evaluasi aspek produktif: salah satu pertimbangan penting yang menentukan rekomendasi BWI adalah ada tidaknya alternatif terhadap rencana tukar menukar tersebut. BWI mengkaji berbagai alternatif pengembangan tanah wakaf asal, dibandingkan dengan rencana kerja Nazhir terhadap tanah wakaf pengganti. Evaluasi ini semacam analisa biaya manfaat yang memperhitungkan bukan hanya faktor ekonomi tetapi juga religi, sosial dan budaya. Apabila rencana kerja Nazhir yang dituangkan dalam permohonan ternyata merupakan alternatif terbaik, BWI akan mendukung tukar menukar tersebut. Sebaliknya, apabila BWI beranggapan ada alternatif lain yang lebih baik untuk pengembangan tanah wakaf asal, dan BWI berkemampuan merealisasikan alternatif tersebut, maka tukar menukar harta benda wakaf dapat dihindari.
• Evaluasi aspek legal dan fiqh dilakukan secara berlapis di BWI. Evaluasi lapis pertama dilakukan di divisi Kelembagaan yang menyusun kronologi dan meneliti kelengkapan administratif serta data-data pendukung. Setelah semua data lengkap, kemudian diajukan dalam rapat pleno untuk diberikan pertimbangan dari aspek fiqh, dengan mempertimbangkan seluruh aspek lain yang berkaitan. Sebagai contoh dari evaluasi aspek legal adalah apakah tanah pengganti memiliki bukti kepemilikan yang mutlak, misalnya bersertifikat hak milik. Untuk keperluan ini, BWI bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional.
Contoh Kasus
Beberapa contoh tukar menukar harta benda wakaf yang ditangani BWI antara lain adalah sbb:
A. Penukaran tanah wakaf Yayasan Daarul Uluum Al Islamiyah di Kecamatan Setiabudi, Jakarta
Yayasan Daarul Uluum memiliki madrasah seluas ± 1100 m2 di atas tanah wakaf seluas ± 2200 m2. Lokasi tanah wakaf berada di pusat kota Jakarta di mana di sekelilingnya telah berdiri gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan. Bangunan madrasah didirikan tahun 1976, dan pada saat penukaran memiliki sekitar 500 orang santri. Kondisi bangunan kurang terawat. Ketika pengurus bermaksud melakukan renovasi, Pemerintah setempat tidak dapat mengeluarkan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) karena peruntukan lokasi yang dimohonkan adalah untuk kegiatan komersial, bukan pendidikan.
Di pihak lain, PT. ASA memperoleh Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta seluas hampir 3 hektar di lokasi tersebut untuk dibangun perkantoran berserta fasilitasnya. Tanah wakaf berada di dalam areal pengembangan PT ASA tersebut.
PT. ASA dan Nazhir bersepakat untuk melakukan tukar menukar tanah wakaf, di mana tanah wakaf asal seluas 2200 m2 ditukar dengan tanah pengganti bersertifikat HGB milik PT. ASA yang letaknya masih di kelurahan yang sama, namun lebih jauh dari jalan utama. Tanah pengganti memiliki luas 2275m2, namun nilainya masih di bawah nilai tanah wakaf asal. Karenanya PT. ASA juga membangunkan gedung sekolah 4 lantai beserta sarana pelengkap dan fasilitasnya sebagai kompensasi kekurangan nilai tanah tersebut. Secara total, nilai tanah beserta gedung yang baru lebih tinggi daripada nilai tanah wakaf awal.
Dalam menganalisa kasus ini BWI mempertimbangkan 2 aspek penting.
1. Yayasan sampai saat ini masih memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan kepada masyarakat sekitar, terbukti dengan adanya santri sebanyak sekitar 500 orang. Namun kondisi bangunan sudah tidak layak, karena tidak dapat direnovasi tanpa IMB dari pemerintah setempat. Suasana dan atmosfir di lingkungan tersebut pun tidak kondusif untuk pendidikan karena berdekatan dengan pusat komersial dan di sekelilingnya sedang dilakukan proyek pengembangan oleh PT. ASA. Penukaran harta benda wakaf dengan tanah dan bangunan yang lebih besar dan representatif, dengan daya tampung hampir dua kali lipat, memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat sekitar serta yayasan. Suasana belajar mengajar lebih kondusif dan lokasi pun masih di kelurahan yang sama, sehingga santri tidak sulit mencapai tempat belajarnya. Atas alasan maslahah ini, BWI cenderung menyetujui tukar menukar tersebut.
2. Di sisi lain, permasalahan kompensasi nilai tanah yang lebih rendah yang diganti dengan nilai bangunan dan fasilitas-fasilitasnya menimbulkan persoalan yang lain. Bangunan 4 lantai yang mewah membutuhkan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. Apabila mengandalkan penerimaan dari santri, tidak akan akan cukup untuk keperluan tersebut, karena harus dialokasikan untuk operasional pendidikan. Sementara tanpa pemeliharaan, gedung tersebut akan cepat rusak dan akan mengalami persoalan serupa seperti kondisi di tanah wakaf asal. Atas kesadaran tersebut, Nazhir meminta PT, ASA untuk membangunkan prasarana yang dapat diproduktifkan untuk membiayai pemeliharaan aset wakaf. PT. ASA kemudian mendirikan bangunan 3 lantai yang dinamai Daarul Ulum Centre yang dapat disewakan untuk perkantoran dan ruang serba guna, dengan perkiraan pendapatan sewa yang mencukupi untuk biaya pemeliharaan aset wakaf secara keseluruhan. Selanjutnya seluruh fasilitas produktif tersebut diserahkan kepada Nazhir yang diperkuat dengan surat pernyataan PT. ASA. Penyerahan aset produktif tersebut merupakan bagian dari proses tukar menukar tanah wakaf yayasan Daarul Ulum al Islamiyah dengan PT. ASA. Tanpa penyerahan aset produktif tersebut, BWI tidak akan menyetujui proses tukar menukar itu karena kompensasi kekurangan nilai tanah dengan nilai bangunan justru akan menimbulkan biaya bagi nazhir di masa mendatang, apabila tidak memiliki sumber pendapatan produktif yang dapat diandalkan.
B. Penukaran Tanah Wakaf Pertanian Kelapa di Desa Cupel, Kec. Negara, Jembrana.
Tanah wakaf berupa lahan pertanian kelapa seluas 8600m2 terletak di pinggir pantai di desa Cupel, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Tanah wakaf berlokasi sekitar 1 km dari pelabuhan perikanan Kec Negara. Semenjak dibangun pemecah ombak di pelabuhan ikan tersebut, tanah wakaf mulai terkena abrasi laut. Akibatnya tanah wakaf terkikis, sampai saat penukaran sudah lebih dari 1000 m2 lahan wakaf hilang terkikis ombak.
Nazhir berinisiatif menukar harta benda wakaf dengan pengusaha yang berminat terhadap tanah tersebut untuk investasi di industri perikanan atau perhotelan. Kemudian dicapai kesepakatan untuk menukar tanah wakaf tersebut dengan tanah pertanian yang letaknya jauh dari pantai, denga luas hampir dua kali lipat dan dengan produktivitas yang lebih tinggi karena dapat ditanami berbagai jenis tanaman produktif di samping kelapa. Di samping tanah pengganti lebih luas dan lebih tinggi nilainya, juga lebih produktif dan lebih sesuai dengan ketrampilan nazhir sebagai petani. Akibatnya, manfaat produktif yang diperoleh untuk keperluan masjid Baitul Qodim – masjid terbesar di kecamatan Negara – sesuai dengan keinginan wakif menjadi lebih tinggi daripada sebelum dilakukan penukaran. Dan yang lebih penting, aset wakaf terhindar dari kemusnahan karena terkikis abrasi laut.
Permasalahan Aktual
Salah satu permasalahan besar dalam proses tukar menukar wakaf yang ditangani BWI adalah, proses pengalihan tersebut seringkali sudah dilaksanakan pada saat dokumen permohonan rekomendasi diterima oleh BWI. Dengan kata lain, BWI seringkali dipaksa oleh keadaan bahwa secara aktual penukaran tanah wakaf telah terjadi dan telah tuntas di lapangan. Padahal undang-undang wakaf mengatur sanksi yang tidak kecil kepada pelanggaran tersebut. Pasal 67 menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp, 500.000.000,- Pada kenyataannya, banyak tanah wakaf yang dalam proses meminta izin penukaran ternyata secara de facto telah melakukan penukaran tersebut sebelum rekomendasi BWI dan izin Menteri Agama diterbitkan.
Masalah penegakan hukum atas pelanggaran ini kiranya menjadi pekerjaan rumah semua pihak terkait, mengingat undang-undang wakaf telah berlaku sejak 2004. Efektivitas penanganan masalah tukar menukar wakaf telah dibekali dengan aturan hukum yang kuat berupa undang undang dan peraturan pemerintah. Aturan itu akan efektif apabila ditunjang oleh sistem adminstratif yang tertib dan akurat, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi. Tanpa ketiga elemen tersebut bekerja bersama-sama, akan sulit untuk menjadikan istibdal sebagai instrumen untuk mengoptimalkan manfaat harta benda wakaf.
Jumat, 15 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar