Senin, 15 September 2008

PLURALISME SOSIOLOGI YES, PLURALISME TEOLOGI NO

PLURALISME SOSIOLOGI YES, PLURALISME TEOLOGI NO
Oleh. Cholil Nafis, MA


Kemajemukan (pluralitas) adalah sunnatullah yang tidak mungkin dapat dielakkan oleh manusia. Diciptakannya manusia dari berbagai suku-bangsa, dengan berbagai ragam ras dan warna kulitnya, mengandung hikmah yang sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dengan keragaman suku dan bangsa diharapkan manusia dapat saling mengenal dan saling membutuhkan. Sungguh pun manusia terdiri dari berbagai suku dan bangsa, berbicara dengan berbagai bahasa, warna kulit yang berbeda-beda, mereka semua pada hakikatnya berasal dari sumber yang satu, jiwa yang satu (nafs wâhidah). Inilah salah satu bentuk dari toleransi Islam terhadap pemeluk agama lain dalam hal muamalat. Adapun dalam ranah aqidah, ibadah dan ritual-ritual suci, Islam telah mempunyai batasan yang sangat jelas. (QS. Al-Kâfirûn [109]: 2-6)
Hadist Nabi saw juga menjelaskan secara gamblang akan ide persamaan antarsesama manusia tanpa membedakan suku bangsanya. Dalam khothbahnya ketika melaksanakan haji wada’ (perpisahan) Rasulullah saw menegaskan ide persamaan ini. Beliau bersabda, “Orang Arab tidak lebih baik dari pada orang non Arab ('ajami), dan orang non Arab tidak lebih baik dari pada orang Arab, kecuali karena ketakwaannya.” Sikap tegas dan bijaksana juga ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab terhadap anak gubernur Mesir yang berbuat kasar terhadap salah seorang warga Mesir. Khalifah berkata, “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka sebagai manusia yang merdeka?”
Pada saat awal mula memimpin Madinah, Rasulullah saw menjumpai kota ini sebagai kota plural yang dihuni oleh masyarakat yang sangat heterogen, baik ditinjau dari sisi keragaman kabilah, bani-bani, ataupun keyakinan beragama. Di sana ada masyarakat urban (kaum Muhajirin), penduduk asli Madinah (kaum Anshor) yang terdiri dari kabilah Aus dan Khajraj, kaum Yahudi yang terdiri dari tiga bani, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa’, dan Bani Nadhir. Selain itu, di sana juga ada kaum Musyrik penyembah berhala.
Karena melihat kondisi masyarakat yang sangat plural dan heterogen inilah, maka Rasulullah saw mengayomi kepentingan semua kelompok, karena di samping sebagai nabi kaum Muslimin beliau juga seorang pemimpin negara yang juga dihuni oleh orang non Muslim. Bentuk pengayoman ini oleh Rasulullah saw dituangkan dalam sebuah qanun (undang-undang) yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (al-Shahîfah). Beliau memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi semua golongan dalam masyarakat, baik yang Muslim maupun non Muslim.
Dalam Pasal 20, Piagam Madinah menyebut kata “musyrik” . Penyebutan kata “musyrik” dalam Piagam ini mengandung arti bahwa Rasulullah saw mengakui kaum musyrik sebagai sebuah entitas dan bagian dalam masyarakat Madinah yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan entitas lain. Di sini kita dapat melihat bahwa posisi beliau sebagai seorang rasul yang mengemban misi tauhid, tidak menjadi penghalang untuk berbuat adil terhadap golongan lain yang tidak mengimani misi tauhid beliau.
Dasar tauhid yang ditegakkan Rasulullah saw tetap menjamin hak hidup pemeluk agama lain, termasuk orang musyrik sekalipun. Di sini, nampaknya kita perlu membedakan antara dasar monoteisme dengan “kebebasan beragama”. Oleh karena itu, di dalam negara yang menganut paham resmi monoteistis, mungkin saja ada warga yang menganut paham poleteistis. Yang patut diingat, Islam mengkampanyekan semangat toleransi bukan karena pengaruh unsur dari luar Islam, atau karena tekanan dunia luar yang memaksakan toleransi, tetapi karena toleransi itu adalah berasal dari esensi ajaran Islam sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 256)

Isyarat-isyarat Al-Quran tentang Pluralitas
Semakin dalam kita memahami kandungan Al-Quran, maka semakin besar kesadaran kita akan adanya pluralitas dalam kehidupan. Bahkan kita akan mendapati bahwa Al-Quran sendiri adalah sumber pluralitas. Gaya bahasa Al-Quran yang penuh dengan metafor dan simbol menyimpan makna yang sangat beragam. Setiap kata dan ayat di dalam Al-Quran menyimpan berbagai bentuk penafsiran. Di samping itu, kandungan ayat kauniyahnya mampu menyesuaikan diri dengan perjalanan masa dan teori ilmu-ilmu modern yang dinamis. Artinya, makna dan tafsir Al-Quran (bukan teks Al-Quran) senantiasa berkembang sesuai dengan langkah zaman. Banyaknya ragam penafsiran Al-Quran inilah kemudian yang mendongkrak banyaknya kitab-kitab tafsir yang ditulis para ulama salaf. Andaikata para ulama itu hidup di masa sekarang, niscaya mereka pasti akan melahirkan kitab-kitab tafsir yang tak terhitung jumlahnya, yang membahas teori-teori ilmiah modern.
Al-Quran menyuruh manusia menghayati bumi tempatnya berpijak. Bumi ini adalah salah satu dari berjuta-juta planet dan bintang, yang besar maupun yang kecil, yang berada di dalam sistem tata surya. Jarak antara planet atau bintang yang satu dengan yang lainnya bisa mencapai ratusan tahun cahaya.
Di dalam bumi tempat manusia berpijak terdapat banyak sungai dan lautan; gunung dan lembah. Terdapat beragam serangga, burung, dan tumbuhan. Hal yang sama juga terjadi pada manusia. Manusia berasal dari beragam bangsa, warna kulit, bahasa, agama, dan keyakinan. Manusia bukanlah sebuah entitas tunggal yang serba homogen!!
Al-Quran mengatakan bahwa manusia tidak dapat dijadikan sebagai umat yang tunggal, karena Allah SWT tidak berkehendak menjadikan manusia sebagai umat yang satu, agar Allah mengetahui siapa-siapa di antara mereka yang paling baik. (QS. Al-Ma’idah [5]: 8)
Allah menciptakan perbedaan bagi setiap umat. Di antara perbedaan itu terletak pada syariat. Banyak sekali kata “perbedaan” yang disebutkan dalam Al-Quran seperti ikhtalafa, ikhtalaftum, ikhtalafû, takhtalifûn, khilâf, ikhtilâf, dan mukhtalif. Semua kata yang mengandung makna “perbedaan” ini mencakup konteks yang sangat luas. Konteksnya bisa menyangkut masalah akidah, agama, ras, etnis, bangsa, bahasa dan lain sebagainya. Dengan demikian, kata-kata tersebut menegaskan akan adanya pluralitas dalam kehidupan.
Al-Quran memang mengatakan bahwa kaum Muslimin adalah umat yang satu. Namun kesatuan ini berada dalam ranah akidah. Di samping itu, kesatuan ini tidaklah menafikan bahwa kaum Muslimin berasal dari beragam suku bangsa, kabilah, marga, warna kulit, dan bahasa. (QS. Yâsin [36]: 36. QS. Fâthir [35]: 11. QS. Al-Dzariyat [51]: 49. QS. Al-An`âm [6]: 165. QS. Al-Zukhruf [43]: 32. QS. Al-Baqarah [2]: 256. QS. Yûnus [10]: 108. QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Kenyataan adanya pluralitas tidak hanya dinyatakan dalam Al-Quran, tetapi juga dinyatakan dalam hadits. Rasulullah saw membuka peluang yang sangat besar bagi lahirnya perbedaan pendapat. Misalnya, ketika memberikan motivasi kepada para sahabat Rasulullah saw mengatakan bahwa seorang mujtahid yang melahirkan pendapat yang benar, maka ia mendapatkan dua pahala atas ijtihadnya tersebut. Namun, jika ia melahirkan pendapat yang salah, maka ia tetap mendapatkan pahala atas jerih payahnya tersebut.

Pluralisme Sosiologi Yes
Seringkali perbedaan agama menciptakan kesenjangan antarpemeluk agama. Untuk meminimalisasi kesenjangan tersebut, belakangan muncul gagasan untuk melakukan pendekatan antaragama. Dalam kaitannya dengan upaya pendekatan ini, umat Islam terbagi dalam dua kelompok yang mempunyai pandangan berbeda.
Yang pertama menggagas untuk mencari nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Kelompok ini mengatakan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama. Semua agama mengakui keadilan, kasih sayang, kejujuran, atau solidaritas sebagai nilai yang baik. Semua agama mengakui bahwa mencuri, merampas hak orang lain, memfintah, berbohong sebagai perbuatan tercela. Akhirnya kelompok ini meyakini semua agama benar. Karenanya perlu bertikai. Dengan pendapat ini, kelompok ini bisa menyatukan para pemeluk agama dalam suasana damai. Namun secara tidak sadar, kelompok ini sesungguhnya telah mengaburkan nilai kebenaran Islam yang mereka yakini. Mereka telah mencampur semua agama bagaikan adunan Juss buah yang menghilanglakan rasa masing-masing buah yang diblender oleh mesin blender. Mungkin pahan inilah yang selalu didengungkan oleh pengagum pluralisme.
Yang kedua mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan pandangan pertama. Kelompok ini meyakini agamanya sebagai yang paling benar. Karenanya mereka dengan penuh semangat mengkampanyekan agamanya kepada pemeluk agama lain. Saking bersemangatnya, kelompok ini melakukan tindakan yang kontra produktif terhadap semangat persatuan kebangsaanberbangsa dan bernegara. Terkadang mereka kurang mengindahkan perasaan pemeluk agama lain atas nama seruan suci agamanya yang akan berbuah surga. Jika semua umat Islam melakukan hal ini terhadap umat beragama lain, berarti negara menyimpan “bara dalam sekam” yang suatu saat bisa berubah menjadi api besar yang membakar negara dan bangsa ini.
Kedua kelompok di atas mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk itu diperlukan sebuah formulasi baru yang bisa menjembatani keduanya. Jembatan itu adalah dialog (hiwâr) antar umat beragama. Dengan dialog, kesenjangan umat Islam dengan pemeluk agam lain akan teratasi, sementara umat Islam tidak harus kehilangan keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri atas nama “universalitas” dan “substansi” agama yang bisa mengaburkan kebenaran Islam. Jalan tengah (moderat) dan yang bisa ditawarkan oleh penulis bahwa pluralisme merupakan hal yang niscaya dan harus menjadi pegangan jika pluralismen dalam konotasi sosiologis. Artinya, kesadara umat manusia tentang keragaman, perbedaan natural, berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. Akan tetapi, pluralisme dalam konotasi teologi (tauhid) umat muslim bahkan seluruh umat beragama harus menolak (mengharamkan)-nya.
Doa bersamaan masing-masing umat beragama kepada Tuhan mereka secara bersamaan telah bertentangan dengan kesakralan agama, tetapi doa bersama dalam suatu acara kepada Tuhan mereka masing-masing, baik secara bergantian dan bersamaan adalah sesuai dengan undang-undang Dasar 1945 tentang kehidupan umat beragama
Keyakinan umat beragama tidak boleh dilebur dalam satu wadah yang menghilangkan warna aslinya seperti juss buah, tetapi boleh hidup dalam satu wadah tanpa menghilangkan identitas masing-masing seperti rujak buah yang dihidangan dalam satu piring. Prinsipnya, pluralisme “rujak buah” yes, pluralisme “juss buah” no Pluralisme sosiolog i yes, pluralisme teologi no….

Tidak ada komentar: