Senin, 15 September 2008

CORAK PEMIKIRAN HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

CORAK PEMIKIRAN HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
M Cholil Nafis MA
Sekretaris MUI Provensi DKI Jakarta, Staf Pengajar Ekonomi Syari'ah Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Studi fatwa-fatwa di Indonesia terasa sangat menarik mengingat mayoritas penduduk negeri ini adalah masyarakat muslim penganut mazhab suni. Pemberi fatwa di Indonesia sepenuhnya dilakukan oleh ulama secara perorangan hingga permulaan abad ke-20. pada kuartal kedua abad ke-20, beberapa fatwa telah mulai diberikan oleh para ulama secara kelompok. Pada tahun 1926 M para ulama tradisional telah mendirikan perkumpulan Nahdlatul Ulama dan mulai mengeluarkan fatwa untuk para pengikutnya melalui Lajnah Bahtsul Masail bersamaan waktunya dengan kongres pertamanya pada tahun itu juga. Muhammadiyah yang berpendirian modern, yang didirikan pada tahun 1912 M, pada mulanya tidak memperhatikan soal fatwa hingga tahun 1927 M, sewaktu organisasi itu membentuk panitia khusus yang diberi nama Majelis Tarjih, yang bertugas menetapkan soal-soal keagamaan umumnya dan hukum Islam khususnya.
Perkembangan berikutnya muncul pada tahun 1975 M dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Baik ulama dari kalangan tradisional maupun kalangan modern mempunyai wakil-wakilnya dalam MUI, dan melalui perhimpunan itu memberikan fatwa-fatwa bersama. Sejak didirikan pada tahun 1975 M hingga sekarang, MUI telah melahirkan fatwa-fatwa banyak sekali, meliputi soal upacara keagamaan, pernikahan, kebudayaan, politik, ilmu pengetahuan, kedokteran dan ekonomi, yang sebagian besar dikumpulkan dalam Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia II, Himpinan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang dimulai dengan lahirnya Undanga-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandunng ketentuan bolehnya bank konvensional beroprasi dengan sistem bagi hasil. Kemudidian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari'ah di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari'ah baru atau cabang syari'ah pada bank konvensional. Maka praktik keuangan syari'ah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syari'at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu dibentuknya suatu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.
Dewan Syariah Nasional -MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 telah mengeluarkan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 telah mengeluarkan sebanyak 64 fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu'amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari'ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu'amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Alquran al Karim, Hadits Nabawi, Ijma' dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari'ah, dan 'urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisio-ekonomi disekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.
Fatwa-fatwa ekonomi Islam yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia merujuk pada buku pedoman untuk mengeluarkan fatwa yang diterbitkan oleh MUI pada tanggal 2 Oktober 1997. Dalam buku itu disebutkan, dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa merujuk pada urutan tingkatan; Alquran, Sunah Nabawi, ijma'-qiyas, serta dalil global lainnya.
Hal ini masih harus dilengkapi dengen penelusuran dan penelitian kepada pendapat-pendapat imam mazhab terdahulu. Kemudian meminta pandangan para ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya.
Dalam prosedur penetapa fatwa pada pasal 3 ayat 2 dan 3 disebutkan mengenai masah yang telah jelas hukumnya (qath'iy) hendaklah Komisi Fatwa menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nash (teks) dari Alquran dan sunah. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pen-tarjih-an.
Cara penulisan dan format keputusan Komisi Fatwa biasanya mengemukakan bahwa Komisi telah mengadakan siding pada tangga tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang atau badan-badan tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan mengemukakan dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa dimaksud.
Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai berdasarkan ayat Alquran disertai hadis yang bersangkutan serta kutipan naskah-naskah fikih dalam bahasa Arab. Dalil secara akal (rasional) dan pendapat para pakar juga kadangkala disertakan sebagai keterangan pendukung. Setelah itu barulah pernyataan sebenarnya dari fatwa itu diberikan dan hal itu dicantumkan di bagian akhir.
Pengujian terhadap corak pemikiran hukum ekonomi Islam dilihat dari fatwa-fatwa MUI dapat dilihat dari fatwa MUI tentang bunga bank. Pada tanggal 16 Desember 2003 MUI menetapkan suatu keputusan bahwa bunga bank termasuk riba nasiah yang haram hukumnya. Keputusan ini melibatkan sejumlah anggota Komisi Fatwa tinggkat wilayah dalam forum "Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia".
Keputusan tentang bunga (interest) itu terdiri atas dua bagian: konsideran dan ketetapan. Ketetapannya terdiri atas empat bagian: pengertian bunga bank, hukum bunga bank, hukum bermu'amalah dengan bank konvensional, dan dasar-dasar penetapan fatwa.
Terdapat enam hal yang dijadikan pertimbangan dan dimuat dalam konsideran keputusan tersebut: (1) pidato menteri agama RI dalam acara ijtima' ulama Komisi Fatwa se-Indonesia; (2) pidato pembukaan ketua umum MUI; (3) ceramah pimipinan delegasi Darul Ifta', Saudi Arabia; (4) ceramah deputi gubernur Bank Indonesia; (5) penjelasan ketua Komisi Fatwa MUI Pusat; (6) Pendapat-pendapat yang berkembang pada sidang-sidang Komisi Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia.
Ketetapan ijtima' ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang bunga bank terdiri atas tiga bagian: pertama, pengertian bungan dan riba. Bunga bank adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan manfaat/hasil pokok tersebut, berdasarkan lamanya pinjaman (durasi), dan diperhitungkan secara pasti di awal berdasarkan prosentase. Sedangkan riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Ini adalah riba nasi'ah.
Kedua, ketetapan bahwa praktik pembungaan uang dalam perbankan konvensional telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, yakni riba nasi'ah. Dengan demikian, paraktik pembungaan bank uang termasuk salah satu bentuk riba, dan haram hukumnya.
Ketiga, hukum bermu'amalah dengan bank bank yang menggunakan sistem bunga (bank konvensional) ditetapkan dua hukum: bagi penduduk yang tinggal di daerah yang sudah terbentuk Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS), tidak diperbolehkan (haram); dan bagi penduduk yang tinggal di daerah yang belum terbentuk Lembaga Keuangan Syari'ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional dengan alasan keterpaksaan dan darurat (al dlarurat wa al hajat).
Ada enam dasar penetapan dalam keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia. Secara umum enam dasar penetapan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) Pendapat uma' secara perorangan; (2) Pendapat lembaga atau ormas Islam internasional (luar Indonesia atau asing); dan (3) pendapat ormas Islam di Indonesia.

Terdapat sembilan pendapat ulama yang dijadikan dasar penetapan hukum bunga bank konvensional, yaitu pendapat Imam Nawawi, Ibn Al 'Arabi, Al 'Ayni, Al Syarkhasyi, Al Raghib Al Isfahani, Muhammad 'Ali Al Shabuni, Muhammad Abu Zahrah, Yusuf Al Qurdlawi, dan Wahbah Al Zuhaili. Akan tetapi dari sembilan ulma yang dijadikan landasan penetapan hukum bunga bank hanya dua ulama yang secara tegas mengharamkan bunga bank, yaitu Yusuf Al Qurdlawi dan Wahbah Al Zuhaili. Ulama lainnya hanya mengaharamkan riba sebagaimana diharamkan oleh Allah SWT dalam Alquran Al Karim.

Keputusan institusi fatwa internasional yang menetapkan bahwa bunga bank haram yang dijadikan landasan pengambilan keputusan oleh Komisi Fatwa MUI adalah: (1) Majma' al Buhuts al Islamiyyah di Universitas al Azhar, Mesir (Mei 1965); (2) Majma' al Fiqh al Islami yang diselenggarakan oleh Negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang diselenggarakan di Jeddah tanggal 22-28 Desember 1985; (3) Majma' Fiqh Rabithah al 'Alam al Islami yang diselenggarakan di Makah (12-19 Rajab 1406); (4) keputusan Dar al Ifta', Kerajaan Saudi Arabia (1979); dan (5) keputusan Supreme Shariah Court Pakistan (22 Desember 1999).

Keputusan ormas Islam Indonesia yang dijadikan landasan oleh Komisi Fatwa MUI adalah: (1) Fatwa Dewan Syari'ah Nasional (DSN) MUI tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syariah; (2)Munas Alim Ulama dan Konfrensi Besar NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya bank Islam dengan sistem tanpa bunga; ( 3) Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyatakan kepada Pengurus Pusat Muhammadiyah agar mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.

Dengan demikian, penetapan hukum bunga bank konvesional dilihat dari metodologi pengambilan hukum (thariqah istinbath al hukm) dapat dilihat dari landasan penetapannya. Dipandang dari segi metodologi penetapan hukum bunga bank oleh fatwa tersebut menggunakan dua metode sekaligus. Yang pertama adalah qiyas (analogi, perbandingan) dan yang kedua adalah talfiq (mengikuti aturan suatu mazhab lain dari pada yang biasa dianut).

Penggunaan qiyas rupanya dilakukan dalam usaha untuk mewujudkan persesuaian antara bungan bank konvensional dengan praktik riba pada zaman Rasulullah, yaitu, ashal riba, far'u bunga bank, 'illat-nya (faktor hukum) tambahan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran tanpa ada imbalan yang diperjanjikan, hukum ashal-nya adalah haram. Maka natijah (kesimpulan)-nya hukum bunga bank konvesional adalah haram.

Sedangkan penggunaan talfiq dapat dilihat dari beberapa landasan keputusan fatwa. Pertama, dapat dilihat dari diterimanya pendapat ulama kontemporer, yaitu pendapat Dr Yusuf al Qurdlawi dan Dr Wahbah al Zuhaili. Kedua, pendapat para imam yang terdiri dari beberapa mazhab tentang diharamkannya riba oleh Allah SWT; dan ketiga, pendapat institusi fatwa nasional dan internasional.

Semua landasan keputusan ini tidak terikat dengan suatu mazhab tertentu dan juga tidak terikat kepada klasifikasi periode imam mazhab. Walaupun diakui bahwa dominasi corak mazhab Syafii sangat kental dalam keseharian umat Islam di Indonesia tampaknya dalam masalah muamalah maliah kontemporer sangat fleksibel dan akomodasi terhadap berbagai mazhab. Bahkan tidak berlebihan jikan dikatakan bahwa corak pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia memfaforitkan qiyas dan sifat keharusan talfiq dalam bermazhab guna mencapai kemashlahatan umat. Wallahu a'lam bi al shawab.

Tidak ada komentar: